Tuesday 31 January 2017

Tentang LGBT

Juli tahun lalu saya dikejutkan dengan kenyataan salah seorang penulis wanita favorit saya, Elizabeth Gilbert memutuskan bercerai dengan suami keduanya setelah 10 tahun berumah tangga. Tidak banyak yang dikatakan oleh Gilbert di accout FB tentang penyebabnya selain mohon pengertian akan keputusan yang sudah diambilnya dan dia meminta waktu untuk unavailable selama beberapa waktu.

Sampai beberapa bulan kemudian saya mendapatkan kabar yang lumayan membuat saya sangat shock, Gilbert memutuskan untuk menjalin hubungan asmara dan tinggal bersama dengan sahabatnya yang juga seorang wanita. Istilah lainnya, Elizabeth Gilbert mengkonfirmasi kalau dia adalah seorang lesbian. Yup, dia menjadi lesbi (saya tidak tahu apakah dia memang sebenarnya lesbi dari lahir atau tidak) setelah menikah sebanyak 2 kali dengan pria.

Well, bisa saya katakan kalau saya tidak hanya sekedar shock, saya merasakan jijik dan gamang selama beberapa waktu. Mengapa?

1. Dari sisi agama atau keyakinan yang saya anut, hal ini jelas-jelas salah dan dikategorikan dosa.

2. Dari sisi ilmiah, memang ada hormon yang salah letak. Katakanlah untuk kromoson XY seharusnya 'membentuk' tubuh seorang pria dan kromosom XX 'membentuk' tubuh seorang wanita. Namun karena faktor lainnya terkadang kromosom XY malah membentuk tubuh seorang wanita. Itulah mengapa ada pria yang akhirnya memutuskan operasi kelamin menjadi wanita karna mau disuruh bersikap seperti pria dengan cara apapun tidak akan bisa dilakukannya karna memang semua aspek hormon raganya menuntun untuk menjadi seorang wanita. Sebutlah contohnya artis Indonesia Dorce. Bunda Dorce tidak mengalami orientasi kelainan seksual sesama jenis, beliau adalah seorang wanita yang berada di tubuh jiwa. Lha kalau ditanya mah... beliau memang dasarnya suka dengan pria.

3. Saya pernah punya seorang teman wanita yang lumayan dekat yang ternyata seorang lesbi, dan dia naksir saya dan mencoba melakukan hal-hal aneh terhadap saya. Pengalaman ini semakin membuat saya 'ngeri' dan jijik. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk tidak akan mau lagi berkomunikasi dengan dia selain memang saya merasa dia sedikit psikopat. Saya mungkin masih akan mau berteman dengan dia selama dia tidak mengganggu, namun ketika sifatnya mulai aneh dan saya tidak merasa nyaman maka lebih baik di cut off saja. 

Namun pada akhirnya ada yang merubah pemikiran saya, Sebelumnya saya punya beberapa teman pria yang homo dan jujur mereka malah menjadi sahabat karna mereka tidak pernah norak dengan teman pria sesama jenisnya ketika berada didekat saya. Mereka orang baik. Kemudian saya menyadari siapakah saya untuk menghakimi mereka? bukan hak saya!

Elizabeth Gilbert, penulis wanita luar biasa yang banyak mempengaruhi mind set saya. Dia adalah aktivis yang memperjuangan hak-hak wanita, seorang feminist yang menyerukan kemanusiaan dan menolong banyak orang. Penulis yang disetiap artikelnya menyerukan cinta kasih untuk sesama. Dia mungkin tidak beragama formal seperti manusia pada umumnya, tapi lebih dari itu. Gilbert mengaku memiliki agama 'kemanusiaan'. Tidak ada yang tidak dilakukannya untuk mempengaruhi lingkungannya untuk menjadi lebih peduli terhadap kehidupan dan lingkungan. Saya bisa saja memutuskan untuk berhenti mengagumi Gilbert, namun saya tahu kalau hal itu saya lakukan saya adalah manusia yang paling bejat dan munafik di dunia karna secuilpun tidak bisa dibandingkan dengan apa yang sudah saya lakukan kepada sesama saya.

Well, hal lain yang menggugah saya adalah, bahwa diapun manusia yang sama dengan saya. Terlepas orientasi seksualnya yang menyimpang bukan ranah saya untuk memutuskan apakah itu dosa atau tidak. Sama sekali tidak. Ketika saya pada akhirnya memutuskan bahwa hal hubungan lesbinya tidak mempengaruhi saya, hal yang sama juga saya rasakan ketika mengetahui bahwa penulis wanita favorit saya lainnya yaitu Glennon Doyle Melton pun akhirnya memutuskan bercerai dengan suaminya dan tidak lama kemudian menjalin kasih dengan seorang wanita. Meskipun masih tercengang, tapi kali ini saya sudah bisa menguasai perasaan saya. Mereka tetaplah manusia biasa seperti saya dan bisa jatuh kedalam dosa.

Sebuah pernyataan dari salah seorang komika asal Papua Ari Kriting sangat mampu mendeskripsikan pandangan saya tentang dunia LGBT. Ari berkata "Jika kamu menyakiti kaum LGBT, saya melawan karna saya berkeprimanusiaan, Jika kamu melegalkan LGBT, saya melawan karna saya beragama". A very well said actually from him. 

Pada akhirnya saya sudah mampu mengambil sikap terkait pola hidup LGBT pada saat ini tanpa harus menghakimi mereka karna mereka masih teman sesama manusia saya.

Sunday 15 January 2017

Book of January 2016

Happiness Inside oleh Gobind Vashdev (2012); 278 halaman.



Sebelum saya mereview tentang buku yang luar biasa ini, berikut sedikit latar belakang mengenai penulisnya:

Gobind Vashdev lahir dan menghabiskan masa kecilnya di kota Surabaya. Kemudian is pindah ke Jakarta dan akhirnya menetap dikota Ubud, Bali. Gobind tidak lulus S1, tetapi sejak kecil memiliki ketertarikan yang besar terhadap pelajaran yang bersifat informal. Baginya, setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap jam adalah waktu belajar.

Ia senang menyebut dirinya heartworker, seorang pekerja hati. Menjadi vegetarian selama lebih dari 20 tahun sama sekali tidak menghambat langkahnya dalam berkiprah di dunia yang dicintainya ini. Gobind terus aktif berkeliling ke tempat tempat konflik dan bencana di Indonesia dalam rangka melakukan aktivitas sosialnya. Gobind menemukan kebahagiaan dalam berbagi dan memberikan apa yang dia miliki kepada orang lain. Baginya hidup bukanlah suatu perlombaan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya, tetapi memberi kepada dunia sebelum kita meninggalkannya.
Ia tidak menggunakan sabun, sampo, pasta gigi atau bahan-bahan yang membebani alam ini. Selain itu ia juga selalu mengingatkan bahwa memiliki kesempatan hidup sebagai manusia adalah kesempatan yang tak ternilai harganya, sayang sekali bila harus dikotori hanya untuk kesenangan sesaat.


*****
Sejujurnya saya sedikit agak bingung memulai darimana untuk mereview buku ini, karena ternyata sangat mempengaruhi saya. Banyak perenungan yang saya lakukan setiap satu bab yang telah saya baca dari buku Gobind. Isi buku ini benar-benar seperti memaksa kita untuk berpikir ikhlas (ilmu ikhlas ini luar biasa susah untuk saya!), belajar melepaskan dan memikirkan kebahagiaan orang lain. Sesuatu yang aneh di zaman sekarang sebenarnya. Alih-alih mengejar materi, Gobind mengajarkan untuk menggunakan materi dunis secukupnya... tanpa berlebih, (lihat saja gaya hidupnya yang vegetarian dan tidak menggunakan perkakas dunia). Bagi saya Gobind seperti oase di padang gurun namun entah mengapa pemikirannya sangatlah indah.

Semua kata-kata bijak dalam buku ini adalah hasil proses perenungan Gobind dari tokoh-tokokh spiritual terdahulu dan Gobind melakukannya dengan caranya sendiri. Semua pertanyaan-pertanyaan saya tentang kehidupan, entah kenapa sama dengan apa yang dipertanyakan oleh Gobind. I feel like I met my oldfriend and then we cheers together! Gobind bukan penganut ajaran agama tertentu, tapi dia memilki jiwa spiritual yang begitu luar biasa. Bagi kamu yang selama ini merasa dunia filosofis terlalu sulit untuk dimengerti, buku Gobing termasuk buku yang sangat mudah untuk dipahami dan diaplikasikan. Banyak pesan moral yang disampaikan ala spiritual timur. Untuk orang dengan pola pikir duniawi, atau yang selama ini berkiblat ke arah spiritual Barat, pemikiran-pemikiran Gobind mungkin seperti tidak masuk akal. But anyway... still this book is worth to read.

Berikut kalimat-kalimat dalam buku Gobind yang telah menginspirasi saya:

1. Jika sulit bagi kita untuk berpikir positif itu tidak lain karena pohon 'positif' dalam pikiran kita jarang diberi makan, ketika perasaan dengki dominan dalam diri kita, itu bukan karena kejadian diluar atau orang lain yang menyebabkannya, semua adalah peran kita dalam memupuk kesuburannya. Tubuh dan pikiran kita hari ini terjadi karena apa yang kita lakukan dan pikirkan pada masa lalu, tubuh dan pikiran apa yang ingin anda lihat pada masa depan, tergantung pada apa yang akan anda lakukan dan pikirkan mulai saat ini dan ke depannya.


2. Sebuah kebenaran harus melewati tiga tahap 1) ditertawakan, 2) ditentang habis-habisan dan yang ke 3) diterima.


3. Sekarang setelah kita hidup sekian lama di dunia ini, seringkali kita berucap terima kasih kepada orang-orang yang kita jumpai. Mulai dari orangtua kita hingga orang yang baru kita kenal. Namun pernahkah anda berucap terima kasih kepada kaki anda yang selalu menopang tubuh anda? Pernahkah anda berterima kasih kepada mata yang memberikan penglihatan sehingga kita dapat melihat dunia yang indah ini? bagaimana dengan jantung anda? pernahkah kita berterima kasih kepada jantung yang selalu setia menjalankan tugasnya tanpa mengenal lelah?


4. Komplain dan kebahagiaan seperti terang dan gelap, keduanya tidak mungkin hadir berbarengan.


5. Keseharian hidup kita, kesenangan, dan kecemasan sangat dipengaruhi oleh kemana paling sering fokus perhatian kita diarahkan.


6. Menyadari betul keadaan 'orang yang menyulitkan' selain membawa kita ke sebuah pemahaman lebih baik tentang bagaimana perilaku seseorang terbentuk, juga akan menjadikan jiwa kita bersyukur.


7. Bukan materi yang berlimpah ruah, tetapi hati yang kayalah yang dapat ikhlas membantu yang lain.


8. Ketika saya memperoleh sedikit uang, saya akan membeli buku, dan jika ada sisa saya membeli makanan dan pakaian.


9. Apapun sikap kita dalam menghadapi kejadian, jauh lebih penting dibandingkan kejadian itu sendiri.


10. Belajar melepaskan diri dari apa pun yang telah kita terima adalah suatu keindahan. Keindahan yang sama, seperti kita memberi sesuatu atau membantu orang lain. Ada suatu kegembiraan dan kedamaian yang tak terlukiskan jika kita ikhlas melepaskan apa yang ada.


Demi melihat point 10, beberapa hari yang lalu saya akhirnya memutuskan untuk memberikan 'harta karun saya yang paling indah' yaitu beberapa buku saya kepada sahabat-sahabat saya yang berminat. Saya adalah orang yang memang maniak membaca dari sejak saya kecil. Koleksi buku saya lumayan banyak. Namun sayangnya karena hidup yang masih nomaden, membuat buku saya tersimoan dibeberapa lokasi, yaitu dirumah orangtua saya di kota Pematangsiantar, di kontrakan adik saya yang nomor 2, di rumah adik saya yang lainnya, dikantor dan di kostan saya sendiri. Dari dulupun saya selalu merasa keberatan untuk memberikan 'harta karun' saya ini ke orang lain karena saya ingin membuat koleksi buku pribadi. Demi mempelajari bagaimana caranya memberi, akhirnya saya putuskan untuk melepaskan buku-buku saya tersebut kepada teman-teman pilihan yang saya prediksi memerlukannya. Dimulai dari buku-buku yang ada di kost dan dikantor saya, akhirnya dalam tempo 2 hari sudah banyak yang take in. Saya senang dan akhirnya puas memberikan buku-buku saya tersebut secara cuma-cuma, yang saya harap para sahabat saya menerima manfaat yang sama ketika saya membaca buku-buku tersebut.

Pidato Michele Obama

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan link speech terakhir sebagai first lady US oleh Michele Obama. Secara spesifik intensi pidato ini ditujukan kepada para generasi muda Amerika Serikat dalam mengembangkan dan mempertahankan negara tersebut sebagai negara terkuat di dunia saat ini. Banyaknya campuran keyakinan (agama) dan budaya yang dibawa oleh para imigran, menurut Michele merupakan kekuatan dalam hal 'freedom' bagi masyarakat Amerika.

Point utama dari pidato Michele adalah bagaimana seharusnya generasi muda mengedukasi, memberi support dan bekerja keras untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan mampu memberikan sumbangsih kepada negaranya. Pidato Michele Obama benar-benar sarat dengan 'HARAPAN' dan sikap optimis dalam menghadapi masa depan. Selama 8 tahun terkahir mempunyai posisi sebagai first lady, karakter Michele memang unik. Sebagai pendamping suaminya Barack Obama, bisa dikatakan kecerdasan Michele terkadang mengintimidasi suaminya. Diketahui Michele sendiri merupakan seorang wanita dengan pendidikan yang tinggi dan karir yang cemerlang di dunia hukum sebelum akhirnya menikah dengan Obama.

Kapasitas otak Michele juga didukung dengan bagaimana dia memanfaatkan posisinya sebagai first lady selama ini dalam mengadakan program kenegaraan dan kegiatan sosial yang menunjukkan kontribusinya kepada generasi muda Amerika. Michele adalah tipe yang berbaur dengan masyarakatnya, tidak ada kesan eksklusif dan sekat antara dirinya dengan masyarakat secara umum.
Menurut saya Michele hampir memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan Hillary Clinton saat menjadi first lady. Keduanya memiliki empower yang luar biasa. Khusus untuk Hillary, saya angkat topi kepada wanita luar biasa ini dalam menghadapi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Bill Clinton. Peristiwa tersebut bukanlah jenis cobaan yang mudah bagi wanita manapun di muka bumi ini. Bagaimana dengan hubungan Michele dan Obama sendiri?
Alkisah saya pernah mendengar cerita seperti berikut tentang pasangan ini:
" Barack Obama dan Michele Obama sedang makan malah di salah satu restaurant sederhana di pinggir kota dan rehat sejenak dari rutinitas di gedung putih. Pada saat mereka berada direstaurant, Michele kemudian menyadari bahwa si empunya restauran adalah mantan kekasihnya pada masa mudanya dulu. Ketika Michele mengatakannya kepada suaminya, Obama kemudian berkata:

'Syukurlah kamu tidak jadi menikah dengannya, kalau kamu menikah dengannya maka kamu akan berakhir sebagai istri pemilik restaurant ini'
Namun Michele kemudia membalas ucapan Obama.
'Oh, bukan begitu sayang. Kalau aku menikah dengannya, maka dialah yang akan menjadi presiden Amerika Serikat dan kamu yang berakhir sebagai pemilik restaurant ini"

Cerita diatas menunjukkan betapa besarnya pengaruh seorang Michele terhadap suami dan anaknya. She is kind of superior intelectual woman and I adore her for that reasons.

I love empowered and strong woman. I adore the woman who gives her influence to people to be better. Michele Obama adalah salah satu wanita yang patut untuk ditiru. Perjuangan yang telah dilaluinya membawa Michele di tahap memberikan contoh bagi wanita lainnya dan dia memang sungguh layak untuk itu.

And as I end my time in the White House, I can think of no better message to send our young people in my last official remarks as First Lady. So for all the young people in this room and those who are watching, know that this country belongs to you—to all of you, from every background and walk of life. If you or your parents are immigrants, know that you are part of a proud American tradition—the infusion of new cultures, talents and ideas, generation after generation, that has made us the greatest country on earth.

If your family doesn't have much money, I want you to remember that in this country, plenty of folks, including me and my husband—we started out with very little. But with a lot of hard work and a good education, anything is possible—even becoming President. That's what the American Dream is all about.

If you are a person of faith, know that religious diversity is a great American tradition, too. In fact, that's why people first came to this country—to worship freely. And whether you are Muslim, Christian, Jewish, Hindu, Sikh—these religions are teaching our young people about justice, and compassion, and honesty. So I want our young people to continue to learn and practice those values with pride. You see, our glorious diversity—our diversities of faiths and colors and creeds—that is not a threat to who we are, it makes us who we are. (Applause.) So the young people here and the young people out there: Do not ever let anyone make you feel like you don't matter, or like you don't have a place in our American story—because you do. And you have a right to be exactly who you are.
But I also want to be very clear: This right isn't just handed to you. No, this right has to be earned every single day. You cannot take your freedoms for granted. Just like generations who have come before you, you have to do your part to preserve and protect those freedoms. And that starts right now, when you're young.

Right now, you need to be preparing yourself to add your voice to our national conversation. You need to prepare yourself to be informed and engaged as a citizen, to serve and to lead, to stand up for our proud American values and to honor them in your daily lives. And that means getting the best education possible so you can think critically, so you can express yourself clearly, so you can get a good job and support yourself and your family, so you can be a positive force in your communities.
And when you encounter obstacles—because I guarantee you, you will, and many of you already have—when you are struggling and you start thinking about giving up, I want you to remember something that my husband and I have talked about since we first started this journey nearly a decade ago, something that has carried us through every moment in this White House and every moment of our lives, and that is the power of hope—the belief that something better is always possible if you're willing to work for it and fight for it.

It is our fundamental belief in the power of hope that has allowed us to rise above the voices of doubt and division, of anger and fear that we have faced in our own lives and in the life of this country. Our hope that if we work hard enough and believe in ourselves, then we can be whatever we dream, regardless of the limitations that others may place on us. The hope that when people see us for who we truly are, maybe, just maybe they, too, will be inspired to rise to their best possible selves.
That is the hope of students like Kyra who fight to discover their gifts and share them with the world. It's the hope of school counselors like Terri and all these folks up here who guide those students every step of the way, refusing to give up on even a single young person. Shoot, it's the hope of my— folks like my dad who got up every day to do his job at the city water plant; the hope that one day, his kids would go to college and have opportunities he never dreamed of.

That's the kind of hope that every single one of us—politicians, parents, preachers—all of us need to be providing for our young people. Because that is what moves this country forward every single day—our hope for the future and the hard work that hope inspires.
So that's my final message to young people as First Lady. It is simple. (Applause.) I want our young people to know that they matter, that they belong. So don't be afraid—you hear me, young people? Don't be afraid. Be focused. Be determined. Be hopeful. Be empowered. Empower yourselves with a good education, then get out there and use that education to build a country worthy of your boundless promise. Lead by example with hope, never fear. And know that I will be with you, rooting for you and working to support you for the rest of my life.

And that is true I know for every person who are here—is here today, and for educators and advocates all across this nation who get up every day and work their hearts out to lift up our young people. And I am so grateful to all of you for your passion and your dedication and all the hard work on behalf of our next generation. And I can think of no better way to end my time as First Lady than celebrating with all of you.
So I want to close today by simply saying thank you. Thank you for everything you do for our kids and for our country. Being your First Lady has been the greatest honor of my life, and I hope I've made you proud.

Wednesday 11 January 2017

The Moment of My Genesis

So what will be happening this year anyway?

Well, I feel my journey this year about coming with ordinary sparkling. Diawali dengan lingkungan pekerjaan yang semakin optimis dan positif, rasanya saya percaya diri saja untuk mengoptimalkan program-progam kerja yang sudah saya planning dari akhir tahun lalu.

Planning saya tahun ini untuk lebih banyak "me time" dengan sahabat-sahabat wanita sesama aktivis dulu. Dimulai nanti di bulan April kami akan melakukan perjalanan backpacker ke Labuan Bajo di NTT. Akhir bulan Juni ini saya juga sudah memutuskan untuk melakukan perjalanan backpacker lagi selama kurang lebih 8 hari ke beberapa negara di Asia Tenggara. Kalau waktunya masih memungkinkan, mendekati akhir tahun saya berencana ke Pulau Belitung untuk mengunjungi museum KATA milik penulis Andrea Hirata. (membayangkannya saja sudah membuat saya tersenyum lebar sekali). Semua perjalanan diatas belum termasuk tugas-tugas keluar kota dari kantor dan project pribadi di kota Bojonegoro (saya hanya bisa berdoa semoga fisik saya kuat, karna saya sangat sadar kekuatan fisik saya sudah tidak sama seperti waktu masih muda dulu ^___^). Jika dibandingkan dengan tahun lalu (saya hanya melakukan perjalanan ke Malang dan Solo), this year will be so 'journey'.

Ada kejadian menakjubkan yang terjadi baru-baru ini, Tadi malam saya dapat invite group WA (again...!!!) yang ternyata group teman-teman SD saya dulu, dan sudah ada notifikasi 300-an... (kami sudah loss contact selama 20 tahun). Saya sampai tertawa keras-keras dengan percakapan konyol tentang masa sekolah dulu. Saya dulu bersekolah di salah satu perguruan Katolik yatu SD RK 3 Pematangsiantar. Sekolah dasar yang kecil dan hanya ada 1 kelas di setiap angkatan. Disini saya dan teman-teman saya dulu mendapatkan didikan yang sangat keras dan disiplin. Suster-suster, Bapak/Ibu guru yang beringas, dan tugas rumah yang segunung. Meskipun demikian saya dapat memastikan bahwa pada zaman SD inilah saya merasakan proses pembelajaran dan pendidikan terbaik. Ketika berada didalam kelas, kami semua (65 orang) bersikap seperti malaikat (karna takut dengan guru), tapi kalau sudah diluar kelas kami pun berubah menjadi setan. Satu sama lain saling mengejek dan membully yang kalau dulu rasanya sakiiiiit hati sekali, tapi sekarang kalau diingat kembali kok rasanya jadi lucu ya? Hahahahaahahaha.... Belum lagi beberapa pengakuan yang dulunya siapa naksir siapa hahahahaaha.... kisah cinta monyet yang di peti matikan. Well, rasanya senang sekali bisa berbincang dengan sahabat-sahabat lama, walaupun pada akhirnya saya paling-paling hanya jadi silent reader saja. (bukan karna sengaja tapi memang karna faktor pekerjaan yang memerlukan energi lebih banyak dan teman-teman saya chatting di jam-jam kerja. Hayaaaaaa....)

Tahun 2017 saya juga sudah memutuskan untuk lebih menggali sisi spiritual saya dan mulai belajar dari  tokoh-tokoh spiritual yang saya rasa mampu mengilhami. Sebut saja Gobind Vashdev, Deepak Chopra dan sahabat-sahabat saya yang menjadi volunteer kemanusiaan di wilayah masing-masing. Mereka adalah panutan yang mengajarkan sisi positif dan terbaik dari 'hati' seorang manusia (bagi saya, merekalah manusia sukses yang sesungguhnya). Untuk yang satu ini saya benar-benar sangat serius karna saya merasa sudah sangat lelah untuk memikirkan diri saya sendiri, ke-egois-an, pride dan segala hal tentang 'aku' yang pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan apalagi kedamaian jiwa. Saya sudah terlalu banyak menerima, meminta dan menuntut, sampai saya lupa bagaimana caranya memberi. Saya juga harus belajar bagaimana berdamai dengan sisi negatif dari karakter dasar manusia seperti rasa marah, iri, kecewa dan sedih. Sebenarnya hal ini saya sudah coba mulai lakukan sejak akhir tahun 2016 lalu dan memang benar-benar tidak mudah. Saya bahkan sudah gagal berkali-kali. Tapi saya tidak keberatan untuk terus belajar menaklukan sifat negatif saya, bukan semata-mata agar saya menjadi manusia yang sempurna (yang sempurna hanya Tuhan ya cuiiin...) tapi untuk mengingatkan saya bahwa Sang Pencipta sudah memberi teramat sangat banyak dan saya hanyalah debu di alas kakinya.

Well, selamat datang tahun 2017 yang penuh harapan, semoga mendapat banyak pelajaran hidup yang membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi :D