Wednesday 28 December 2016

Music of December 2016: George Michael

RIP George Michael (25 June 1953-25 December 2016)

This article as my tribute to George Michael. One of a unique singer in the world.
Saya pertama notice dengan penyanyi ini melalui singlenya pada era 90--an (persisnya tahun 1996 melalui program acara musik '60 menit' di TVRI) yang berjudul Fast Love. Dari situ saya mulai mendengarkan single-single lainya seperti Whisper Careless (yang paling fenomenal), Amazing, Kissing A Fool, Flawless, atau lagu duetnya dengan Whitney Houston 'If I Told You That' dan dengan Mary J. Blige 'As'. Warna lagu George antara pop dan jazz benar-benar sangat easy listening. Not too hard to hear.

George Michael adalah penyanyi berkebangsaan Inggris yang diawal karirnya bergabung dengan duo Wham!. Duo ini dibentuk oleh George dengan rekannya Andrew Ridgeley pada tahun 1981. Album perdana mereka mencapai chart no.1 di Inggris pada tahun 1983. Setelah mengeluarkan beberapa single dengan Wham!, George akhirnya memutuskan bersolo karir, meskipun dia sebenarnya sudah bernyanyi solo bahkan ketika masih bergabung dengan Wham!

Selama karir musiknya, George Michael menghasilkan 8 album solo, 1 album duo, dengan total penjualan album 100 juta copy diseluruh dunia. Prestasi lainnya, dia berhasil menjadi salah satu penyanyi Inggris dengan penjualan lagu terbaik sepanjang masa, dan mendapatkan 2 Grammy Awards serta masuk nominasi sebanyak 8 kali.

Geroge Michael adalah seorang gay atau homoseksual (mengapa hampir semua seniman terbaik yang saya kagumi homo or lesbi? pls not offended, I'm just saying anyway darling!). Tekanan moral akibat penyimpangan seksualitas, beban pekerjaan dan lainnya, pernah membuat George Michael depresi dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Pada tahun 2011, George Michael di diagnosa penyakit pneumonia dan harus dirawat secara intensif.

Pada tanggal 25 Desember 2016, George Michael akhirnya meninggal pada saat sedang tidur di kediamannya di Goring-Thames Oxfordshire Inggris pada usia 53 tahun. Pihak management George membuat pernyataan resmi dan mengatakan penyebab kematiannya adalah akibat gagal jantung.

Well, good bye then George Michael. So many thanks for all the incredible songs you've shared to the world and to your listener. Hope you rest in peace, in heaven.

George Michael

Book of December 2016: The Girl On The Train

The Girl On The Train (2015) by Paula Hawkins; 431 halaman


Novel ini menyajikan tiga sudut pandang cerita dari tiga wanita yang berbeda pula. Rachel Watson adalah seorang janda cerai, jobless, dan pecandu alkohol. Megan memiliki kehidupan yang hampir sempurna, dia memiliki suami yang tampan, baik walaupun sedikit posesif. Namun sanyangnya Megan selalu merasa tidak puas dan akhirnya berselingkuh dengan beberapa pria. Tokoh wanita yang ketiga bernama Anna. Anna adalaha istri dari mantan suami Rachel yang bernama Tom. Dengan Tom, Anna memiliki bayi perempuan Evi. Anna dan Tom sangat berbahagia dengan keluarga kecilnya, sementara Rachel di dalam keterpurukannya seringakali membuat Anna menjadi curiga.

Rachel hidup menumpang dengan sahabatnya Cathy. Setiap hari Rachel naik komuter ke tempat dia dulu pernah bekerja agar Cathy tidak curiga kalau dia sebenarnta tidak sedang bekerja. Dari dalam komuter line itu Rachel setiap hari melewati rumah yang ditempati oleh Megan dan suaminya Scott. Rumah itu adalah rumah yang pernah ditempati oleh Rachel dan mantan suaminya Tom. Hampir setiap hari Rachel mengingat-ingat memorinya bersama dengan Tom, setiap dia melewati rumah itu.

Sementara itu Megan yang dulunya adalah seorang pekerja seni memiliki masa lalu yang rumit dan buruk dan mengalami depresi. Megan akhirnya menemui seorang psikiater bernama Kamal. Megan akhirnya berselingkuh dengan Kamal.

Sampai suatu hari Rachel mendengar berita bahwa Megan menghilang. Rachel merasa dirinya mengetahui sesuatu karna dibawah alam sadarnya saat mabuk, dia merasa pernah melihat Megan pergi dengan seorang laki-laki. Dengan ingatannya yang kabur Rachel berusaha membantu suami Megan (Scott) dan polisi. Tapi lambat laun semua kesaksian dan cerita mengarah ke Rachel berikut sikap Rachel yang mencoba masuk secara paksa ke rumah mantan suaminya yang ternyata berdekatan dengan kediaman Megan.

Rachel berusaha untuk mengingat kejadian samar yang dia yakini ada kaitannya dengan Megan. Yang paling diingat oleh Rachel adalah bagaimana suatu pagi dia bangun dikamarnya dengan kepala terluka dan darah ditangannya. Karena keterangan Rachel yang tidak pasti, polisi menjadi kurang percaya terhadap Rachel belum lagi mereka akhirnya mengetahui kalau Rachel adalah seorang alkoholik.

Misteri kehilangan Megan akhirnya terjawab dengan ditemukannya mayat Megan di sebuah hutan yang tidak berada jauh dari rumahnya. Endingnya, akhirnya Rachel mampu memecahkan teka teki ingatannya. Diketahui kalau Megan juga ternyata berselingkuh dengan Tom sampai hamil. Tom yang diminta pertanggung jawabannya mencoba mengelak dengan membunuh Megan.

Buat kamu penggemar novel thriller, sebenarnya cerita dalam novel ini tidak heboh-heboh amat kok. Meskipun begitu, tetap saja novel ini menjadi best seller. Novel thriller lain seperti Killing Me Softly (Inggris) atau The Girl With The Dragon Tattoo (Swedia) masih jauh lebih mendebarkan dengan alur cerita yang berputar-putar diantara misteri membuat pembaca sama sekali tidak merasa bosan. Well, tapi buku ini bukanlah pilihan yang buruk untuk menghibur pikiran yang sedang lelah.


Tuesday 27 December 2016

Ceileeee.... PMKRI Melaporkan Habib Rizieq niyee....

Senin 26 Desember 2016 kemarin saya sudah mendapatkan informasi ini dari teman-teman aktivis di PMKRI. Sebagai alumni organisasi ini saya sempat kaget juga. Pada tanggal 10 Desember 2016 sebelumnya, kebetulan saya dan teman-teman alumni sedang melakukan reuni kecil-kecilan dan sedikit banyak membahas perkembangan politik di Indonesia saat ini. Topiknya tentu saja masih seputaran kasus Ahok dan intoleransi beragama. Waktu itu, saya pribadi memang menyampaikan opini mengenai kita, kami sebagai umat Katholik yang termasuk golongan minoritas sudah terlalu lama berada di zona nyaman. Saya banyak mengomentari wadah KWI (Organisasi yang paling tinggi untuk umat Katholik) yang seakan-akan impoten dalam menghadapi isu ini (contoh kasus izin Gereja Katolik Santa Anna di Bekasi yang ditentang oleh ormas tertentu padahal secara hukum dan administratif pihak gereja mengikuti aturan. Perlu diketahui kalau ada pendirian Gereja Katolik yang tidak mampu mengikuti persyaratan administratif negara, saya juga akan masa bodoh kalau pada akhirnya di demo. Lha... memang salah sih! siapa suruh tidak ikut aturan, Indonesia masih negara hukum saudaraku). KWI yang saya rasa tidak mampu memfungsikan peranannya, melindungi kebebasan beribadah umatnya dibawah payung hukum negara seharusnya bertindak. Seharusnya KWI mulai beraksi membuat pendekatan ke semua struktur organisasi agama lain di Indonesia untuk meningkatkan dan mengembalikan toleransi beragama di Indonesia. Bukan dengan cara demo di sana-sini, teriak dijalanan dan kegiatan aneh lainnya itu atau hanya diam bertelor sekalian berdoa digereja. Hedeeeeeuh.....

Sejak PMKRI resmi menggugat secara hukum Habib Rizieq, apakah saya sebagai bagaian dari komuntas ini setuju? Jujur, saya sebenarnya bangga PMKRI secara nasional akhirnya mampu mengambil sikap, namun sayangnya bukan sikap yang seperti ini yang secara personal saya harapkan. Sudah lama saya kecewa dan muak dengan perilaku senior-senior saya yang mengikuti pola berpolitik dengan PMKRI sebagai batu loncatan untuk akhirnya bersikap sama bejatnya dengan para koruptor. Belum lagi masalah internal PMKRI yang kusut bertahun-tahun membuat organisasi ini menjadi sedikit idiot. Eh... tau-tau sudah menjadi begini... Sudah beberapa hari terakhir group WA alumni PMKRI khusus Cabang Pekanbaru tang...tung...tang...tung....menunjukkan notifikasi. Mantan Ketua saya tadi malam sempat share informasi kalau di sekretariat PMKRI Pusat di Menteng Jakarta sekarang ramai tenan... para penetua PMKRI datang... dan dilakukanlah rapat akbar yang entah nanti berefek positif atau sebaliknya. Si bapak mantan Ketua saya ini mengatakan kalau PMKRI tidak seharusnya melakukan tindakan hukum, langkah ini terlalu jauh. Belum lagi ada informasi yang mengatakan kalau dari pihak lawan akan melakukan pelaporan balik terhadap PMKRI. Yaaak... mari kita berlomba-lomba saling melaporkan sampai akhir hayat. Well, nasi sudah jadi bubur, PMKRI sebagai wadah yang juga berkaitan dengan KWI pada akhirnya sudah menentukan sikap. Saya sih tinggal menunggu pengurus PMKRI dipanggil oleh Keuskupan Agung Jakarta atau KWI kalau peristiwa ini nanti akhirnyanya naik level tingkat 'panas'nya. Itupun kalau mereka masih peduli, atau malah jangan-jangan masih tetap bersikap cuek seperti bebek. Kalau sudah begini tinggal cari kambing hitam. Seperti yang sudah-sudah drama barupun dimulai di lingkungan internal hanya gara-gara pihak yang seharusnya dari dulu  bertindak, malah keasyikan berdoa didalam kamar. Pucing deh kepala barbie... Ingat ya, orang baik itu beda tipis dengan orang bodoh, atau orang hemat beda tipis dengan orang pelit.  Sama halnya dengan orang yang mengaku toleran beragama beda tipis dengan sikap abu-abu, tidak hitam tidak pula putih alias plin plan menyikapi imannya.

Saya masih ingat dengan semboyan organisasi tercinta ini "Religio Omnium Scientiarum Anima" yang artinya Agama adalah jiwa segala ilmu pengetahuan, yang kalau tidak dimaknai dengan sangat hati-hati bisa menjadi pedang bermata dua. Pilihannya hanya ada dua, kalau tidak menjadi manusia yang dengan dasar agama menjadi pemikir bersumbu pendek atau menjadi manusia yang sangat toleransi namun didalam dirinya tahu dengan pasti bahwa hubungan dengan Tuhan yang dibungkus dengan kata 'Agama' memiliki tanggung jawab yang lebih besar.




Well. untuk saudara/i ku di PMKRI, hanya mau berpesan saja kepada anda mengenai firman Tuhan kita berikut (pasti sudah tidak asing lagi to? kitakan sering bercuap-cuap dengan kata-kata ini):

"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ketengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" Matius 10:16.

Intinya 'berhikmat'lah dalam bersikap! Kita masih hidup disekitar serigala-serigala haus darah lho... Yuuk, kita seperti ular yang cerdik dan sekali-kali ganti kulit biar sedikit lebih cakep, dan belajar dari merpati yang setia dan tulus. My smile for you yak, Pro Eclesia et Patria!!!

Movie of December 2016: Captain Fantastic (2016)

I am proudly reviewing this incredible movie. I supossed, it should get the Oscar 2017 nominee. Well, let me tell you why is that then....

Captain Fantastic (2016)

Pemain: Viggo Mortensen, George Mackay, Samantha Isler, Annalise Basso, Nicholas Hamilton, Shree Crooks, Charlie Shotwell, Frank Langella, Kathryn Hahn, Steve Zahn.



Ben Cash (Viggo Mortensen) dan istrinya Leslie serta keenam anaknya tinggal dikedalaman hutan di Washington State. Ben dan Leslie memiliki pernyataan sikap yang menentang dan kecewa dengan kapitalisme dan gaya hidup masyarakat Amerika pada umunya. Mereka memilih untuk mengucilkan hidup keluarganya, belajar bagaimana caranya bertahan hidup tanpa modernisasi dan mengajarkan filsafat kepada anak-anaknya. Terisolasi dari masyarakat, Ben dan Leslie mengabdikan hidup mereka untuk mengajar anak-anak mereka bagaimana berpikir kritisdan sistematis, melatih mereka untuk hidup mandiri secara mental dan sehat secara fisik, membimbing mereka di alam liar tanpa bantuan teknologi.
Leslie mengidap penyakit gangguan bipolar, sehingga harus menjalani perawatan dirumah sakit. Tiga bulan setelahnya Leslie meninggal dengan cara bunuh diri. Konflik dimulai ketika Ben bertengkar dengan ayah mertuanya perihal kematian Leslie. Disurat wasiatnya Leslie meminta agar jenazahnya di kremasi sesuai filosofi hidup Budha yang dianutnya, namun bertentangan dengan keinginan ayahnya agar dia dikuburkan secara Kristiani. Ben awalnya tidak ingin menghadiri pemakaman istrinya, namun anak-anak memaksa untuk datang ke pemakaman ibu mereka.
Dalam perjalanan ke tempat pemakaman, mereka sempat singgah kerumah Harper adik Ben. Harper mencoba menyakinkan ben agar anak-anaknya pergi sekolah seperti anak lain pada umumnya dan memiliki kehidupan yang wajar. Namun Ben menentang Harper dan membuktikan kalau anak-anaknya bahkan lebih cerdas dari anak yang bersekolah formal.

Salah satu anak laki-laki Ben dan Leslie bernama Rellian akhirnya juga bertengkar dengan Ben. Rellian menyalahkan Ben yang gagal merawat ibunya. Putranya yang lain, Bodevan juga menuduh Ben gagal membekali mereka untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Rellian kemudian meminta agar dia diasuh oleh kakek neneknya. Ben pun mengalah dan menyerahkan hak asuh keenam anaknya kepada orangtua Leslie.
Mendekati akhir durasi film, keenam anak Ben, ternyata tidak tega berpisah dengannya. Mereka kemudian mengikuti Ben yang sudah dalam perjalanan pulang ke hutan Washington state dan merencanakan untuk membongkar pemakaman Leslie, mengkremasi jenazahnya sesuai dengan permintaannya di surat wasiat.
Pada bagian akhir, Bedoven akhirnya meninggalkan keluarganya untuk menemukan kehidupannya sendiri ke Afrika, sementara Ben dan kelima anaknya yang lain tinggal di daerah pertanian dan peternakan selayaknya keluarga biasa. Anak-anak masih berpegang pada prinsip hidup Ben, dan mulai mengikuti sekolah formal.

Sesuai dengan judulnya, saya hanya mampu berkomentar FANTASTIC!!! The conversations on this movie absolutely incredible, smart and educated. Bagi sebagian orang mungkin film ini termasuk berat (dilihat dari kualitas percakapannya) khususnya bagi orang yang tidak menggemari ilmu filsafat dan sastra. Keluarga Ben dan Leslie pada umunya membicarakan ilmu perbintangan, fasisme, kapitalisme, sastra nobel dan adu argument secara kritis. Menurut saya, film ini adalah salah satu film wajib untuk keluarga, khususnya untuk mengembangkan pola pikir anak. Berikut beberapa quotes favorit saya dari percakapan dalam film ini:

1. Can unique be modified? NO!
2. When you have sex with a woman be gentle and listen to her. Treat her with respect and dignity even if you don't love her. Always tell the truth. Always take the high road. Live each day like it could be your last. Drink it in. Be adventurous, be bold, but savour. It goes fast. Don't die.
3. Power the people! Stick it to the man!
4. If you assume that there is no hope, you guarantee that there will be no hope. If you assume that there is an instinct for freedom, that there are oppurtunities to change things, then there is a possibility that you can contribute to making a better world.
5. We are defined by our actions, not our words.
6. We have to do what we're told. Some fights, you can't win. The powerful control the lives of powerless. That's the way world works. It's unjust and it's unfair. But that's just too damn bad!!! We have to shut up and accept it.... But.. well, fuck that!!!!
7. There is no cavalry. No one will magically appear and save you in the end.
8. My face is mine, my hands are mine, my mouth is mine, but I'm not. I'm yours.

Dari sisi kualitas akting... siapa yang meragukan kemampuan akting Viggo Mortensen? Aktor gaek yang satu ini terkenal tidak asal menerima tawaran film. Viggo sangat mampu mendeliver karakter tokoh Ben yang arogan, tidak sabaran, berkepribadian hangat, pejuang, eksentrik dan family man. Film-film yang diperankan oleh Viggo memang terkenal akan ke-kompleksannya, sebut saja Lord Of the Rings sekuel, The Road, A Dangerous Method. Selain menjadi aktor, Viggo juga terkenal sebagai penulis novel dan puisi.
Akting aktor dan aktris yang memerankan anak-anak Ben juga termasuk kualitas jempolan. Tapi saya paling tertarik dengan akting Nicholas Hamilton yang berperan sebagai Rellian (Usia 13 tahun)  dan Shree Crooks yang berperan sebagai Zaja (Usia 8 tahun).

Saya sangat menyukai kenyataan bahwa dasar ilmu filsafat dan tokoh revolusioner disisipkan didalam film ini, sooooo damn smart!!! Five full of stars for this movie.

Friday 23 December 2016

2016: CLOSING CYCLES... AND I CHOOSE TO BE SPONTANEOUS

One always has to know when a stage comes to an end. If we insist on staying longer than the necessary time, we lose the happiness and the meaning of the other stages we have to go through.
Closing cycles, shutting doors, ending chapters – whatever name we give it, what matters is to leave in the past the moments of life that have finished.
You can tell yourself you won’t take another step until you find out why certain things that were so important and so solid in your life have turned into dust, just like that.
But such an attitude will be awfully stressing for everyone involved: your parents, your husband or wife, your friends, your children, your sister.
Everyone is finishing chapters, turning over new leaves, getting on with life, and they will all feel bad seeing you paralyzed. .
Things pass, and the best we can do is to let them really go away (however painful it may be!).
Everything in this visible world is a manifestation of the invisible world, of what is going on in our hearts – and getting rid of certain memories also means making some room for other memories to take their place.
Let things go. Release them. Detach yourself from them.
Nobody plays this life with marked cards, so sometimes we win and sometimes we lose.
Move.
Do not expect anything in return, do not expect your efforts to be appreciated, your genius to be discovered, your love to be understood.
Stop turning on your emotional television to watch the same program over and over again, the one that shows how much you suffered from a certain loss: that is only poisoning you, nothing else.
Nothing is more dangerous than not accepting love relationships that are broken off, work that is promised but there is no starting date, decisions that are always put off waiting for the “ideal moment.”�
Before a new chapter is begun, the old one has to be finished: tell yourself that what has passed will never come back.
Remember that there was a time when you could live without that thing or that person – a habit is not a need.
This may sound so obvious, it may even be difficult, but it is very important.
Closing cycles. Not because of pride, incapacity or arrogance, but simply because that no longer fits your life.
Shut the door, change the record, clean the house, shake off the dust.
Stop being who you were, and change into who you are.
By Paulo Coelho


Somehow, it's my habit for every end of year make my own resolution. I used to make some targets to achieve. Sometimes it didn't go well and then it had become the same thing as my target for the next year. Well, I did it since I was 19. But now... I prefer to change....

I choose to be spontaneous for every single unplanned actions in my life for next year. I have to learn how to flow... I would let my mind think freely and my heart would agree.

I realize, sometimes I really insist for what I need the most... I insisted for years.. but now I need to let it go.

For year 2016... so far it was the hardest year for me. The most exhausted struggling time and I felt back down. I battered, lost my job, I've been betrayed, I was slandered, financially bankrupt, I lost one of my close friend (just recently), difficult relationships, galons of tears.... All of that really broke me to pieces...

Well, however, I still had a gratitude for the chance to feel those feelings. Something good suddenly happen. It's okay then...

And I will closing my cycles, not because of pride, incapacity or arrogance, but simply because that no longer fits in my life...

I will learn to forgive.. (but not to forget for I've learned my lesson)
Learn how to control my self
Learn how to act wisely,,, and become more wise..
Knowing that I can miss something but not want it back
Look forward and 'live today'
I promise to be more true to myself
Help others as much as I can
Feeding my soul and let it free...

And last... I want to share words from  Gobind Vashdev

"...ketakutan kitalah yang paling sering membungkam potensi yang ada. Kita terfokus pada nilai, pada calistung dan beberapa kebijaksanaan kaku... mengapa hidup harus terstruktur, teratur, terpola... Kita lupa bahwa indahnya kehidupan ada karena pola yang tak teratur dan aturan yang tak terpola"



Sunday 18 December 2016

Good Bye My Beloved Friend Andree Siegara

Ndree, hari ini 18 Desember 2016 lo udah berpulang ke rumah Bapa di sorga. Damn... why so soon ndree? Kurang dari seminggu lalu gue dapat kabar kalau lo masuk rumah sakit dengan fungsi paru-paru tinggal 60%. Gw bingung waktu itu karna setau gw, lo gak pernah merokok, minum alkohol bahkan kopi aja lo ga minum. Jujur gw ngeri waktu jenguk lo di rumah sakit, selain karna memang gw benci rumah sakit dan gak suka bau obat, tapi selebihnya karna gw gak kuat lihat kondisi lo. Ada 7 mesin yang disambungkan dengan selang mulai dari hidung, tenggorokan tangan bahkan mungkin perut. Belum lagi kita disuruh pakai sarung tangan dan masker. Gw gak tau apakah lo kenal ama gw waktu itu, yang gw tau lo sempat liat mata gw, tapi gak berapa lama lo nutup mata lagi. Saat itu lo bahkan gak bisa ngomong. Gw cuman sempat ngomong ke lo... "Ndree... take care, get well soon ya"

Dua hari setelah gw jenguk lo, gw sempat WA kata-kata support agar lo tetap semangat dan kuat menghadapi cobaan, kemarin Sabtu pagi gw kaget lo bisa balas WA gw dan sempat minta tolong ama gw. I try my best Ndree.... Tapi Minggua pagi subuh 18 Desember 2016 gw dapat kabar kalau lo udah pergi.

Gw sempat bingung, pikiran gw rasanya kosong... Sialan...!!!! Rasanya sedih Ndree, tapi aneh gw gak bisa nangis. Gw akhirnya coba telepon teman teman yang lain dan sore ini kita datang liat lo. Akh... sedih rasanya ketika gw datang, tidak ada doa-doa Katolik yang didaraskan. Gw bisa mengerti karna cuman lo yang Katolik dikeluarga lo. It's okay Ndree... gw yang akan doakan lo secara Katolik.
Seperti sebelumnya lo pernah cerita kalau lo kadang-kadang suka sedih karna gereja sendirian, merayakan Natal atau Paskah juga sendirian. Tadi gua gak kuat liat nyokap sama cici lo... demi melihat mereka gw jadi ingat kalau lo suka cerita tentang mereka ke gw. Dari situ gw tau kalau lo sayang banget dengan keluarga lo. Bahkan waktu cici lo sedang hamil, lo minta temanin belanja kebutuhan cici lo. I know you have such a big heart Ndree.

Masih ingat kita liburan nekat ke Yogyakarta bareng Pak Im? What a sweet memory Ndree... Walaupun hanya sehari semalam, kita bertiga bersenang-senang disana. Setelah itu kita sempat ribut dan berantem. Gw lupa penyebabnya apa, yg gw tau kita sama-sama marah dan sempat diam-diaman. Well, tapi akhirnya kita temanan lagi sampai lo resign kerja. Karna kesibukan masing-masing, kita sudah tidak pernah ketemu tapi masih saling telepon atau WA.
Gw ingat lo paling gak suka kalau gw balas WA lo singkat-singkat... lo pasti akan nyerang gw, yang akhirnya langsung gw telepon walaupun harus dengarin omelan lo dulu. Belum lagi lo pernah memuji selera makan gw yang besar sampai kadang-kadang gw malu sendiri. Udah gitu, karna lo tau gw penggila anjing, lo sering kirim foto-foto anjing peliharaan lo ke gw.
Damn Ndree..!!! so much memories... I already miss you.

Andree my bro... tenanglah disurga, maafkan kelakuan ataupun kata-kata gw yang pernah menyakiti perasaan lo. I know you care with me, and I do care about you. Terima kasih untuk semua perhatian lo ke gw selama ini. Terima kasih untuk semua sharing moment kita bersama. I hope you dance and happy there Ndree. My pray for you... God Bless You Andree Siegara.



Thursday 15 December 2016

CACI DAN MAKILAH DIRIKU Oleh Gobind Vashdev

Kalau ada anak 4 tahun ditawari permen dan permata, mana yang ia pilih?
Tentu permen.
Terus ortunya mengatakan "permata ini lebih mahal dari permen lho"
Tetap anak itu pilih permen
Sekali lagi sang ortu meyakinkan dia " tau ngga permata-permata ini bisa beli pabrik permen"
Apakah anak itu akan berubah ?,rasanya tidak.
Apakah anak itu salah?. Tidak.
Mengapa kita tidak menyalahkan anak tersebut?
karena kita mengerti, memahami sepenuhnya.
Pengertian dan pemahaman sepenuhnya tidak mengenal benar salah
Kakaknya yang berumur 10 tahun mungkin akan mengatakan "goblok kamu dek, harusnya kamu itu milih permata, permata itu enak"
Adik kecil mengambil permata dan mencicipinya " tidak enak"
Kedua orangtua yang melihat percakapan kedua anaknya hanya tersenyum, mereka tidak menyalahkan adik juga si kakak, mereka mengerti sepenuhnya bahwa ada masa adik dan kakak akan bertumbuh dalam kesadaran.
orangtua juga mengerti bahwa yang diperlukan untuk diri mereka sendiri adalah kesabaran melewati kelucuan dan keluguan yang terkadang membuat emosi ber-rollercoaster.
adik, kakak dan orantua dalam cerita tersebut tidak selalu ditentukan oleh usia, banyak anak kecil yang sudah pengertiannya cukup dalam, banyak juga orang dewasa yang susah diajak untuk memahami.
Mengerti dan memahami adalah atribut yang digunakan seseorang yang dikatakan dewasa.
dengan kata lain, bila dalam hidup kita masih sering menyalahkan orang lain terhadap emosi yang datang pada diri kita, artinya kita masih perlu berlatih lebih serius.
Bila ada komentar keras dalam postingan kita di medsos dan hati meradang, artinya kita masih perlu meningkatkan pengertian dan pemahaman dalam diri.
Intinya, ketika kita membenci perbuatan orang, siapapun itu, kita perlu tahu bahwa kebencian muncul dan ada di dalam akibat ketidaksadaran diri.
Dan tidak ada hal luar yang bisa menghilangkan kebencian akibat ketidaksadaran itu,kita perlu masuk dan membereskannya sendiri.
Disisi lain yang perlu dipahami adalah, mengerti berlawanan dengan cuek.
Sering saya mendengar orang menasehati orang yang sedang kesal dengan berkata "sudah tidak perlu didengar, lupakan saja dia, biarin dia ngomong apa, jangan ditanggapi"
Memang terlihat baik terkadang bijak, namun perlu diketahui bahwa melupakan atau tidak mau memikirkan adalah suatu bentuk pengalihan yang tidak akan membuat pengertian kita bertumbuh.
Terkadang memang rasa sakit itu terasa sangat, tidak ada salahnya kita beristirahat dengan mengalihkan sejenak, namun kita tidak boleh terlena dengan hidup dalam pengalihan. Kita perlu bertumbuh dengan cara berhadapan dengan rasa tidak nyaman tersebut.
sadari bahwa ketidaknyamanan berasal dari ketidakcocokan antara program yang ada di dalam diri dengan keadaan.
Mengerti cara bagaimana pikiran bekerja, berasaan berespon membuat kita lebih gampang mengerti tentang orang lain dan kejadian di sekitar.
Cacilah diriku, maki-makilah saya, Anda juga boleh menyamakan saya dengan yang ada di kebun binatang dan segala isi toilet, lakukan semua itu namun juga maafkan saya juga karena saya tidak bereaksi seperti yang Anda inginkan.
sama sekali saya tidak cuek, sebaliknya saat itu saya manfaatkan untuk bisa mengerti sepenuhnya mengapa seseorang marah dengan saya atau membenci apa yang saya lakukan.
saya juga tidak perlu memaafkan mereka yang mencaci, karena tidak mungkin ada orang yang bisa menyakiti hati saya tanpa persetujuan dari saya.
Kalau saya tersinggung dan merasa sakit hati, maka tugas utama saya, adalah membereskan ketersinggungan dan sakit hati saya.
Sekali lagi, belajar mengerti tentang diri sendiri akan membuat kita lebih mengerti tentang orang lain.
Dan akhirnya, saya kembali ingin berterimakasih pada orang-orang yang pernah membuat saya tersinggung dan marah, karena mereka menyediakan sebuah tempat pada saya untuk berlatih menjadi pribadi yang lebih sabar dan sadar.
Seperti yang dilakukan guru di kelas yang memberi ujian untuk membuat kita pintar, begitupula kehidupan yang ditemani oleh orang-orang yang berseberangan, seorang Buddha berkata "Pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterimakasih pada orang-orang yang membuat hidup kita sulit"

My Brother and Sister at Aleppo

Sudah mendengar tragedi Aleppo?
Pagi ini saya melihat video dari saudara saudari "kemanusiaan" kita yang berisi pesan kepada umat manusia dunia. Isinya jelas menggambarkan penderitaan dan kondisi terakhir dari kota tersebut.

Saya juga melihat video ayng menampilkan seorang bocah yang tertimbun bangunan, ada bocah yang menangis sendirian diantara robohnya gedung disekitarnya.... semuanya terasa sangat mengerikan.

Kota Aleppo yang tadinya merupakan kota indah berubah seakan-akan menjadi kota mati sejak menghadapi perang saudara tahun 2012 sampai sekarang.

Aleppo adalah kota kedua terbesar kedua setelah Damaskus di negara Suriah, bisa dikatakan seperti Surabaya-nya Indonesia. Perang berkecamuk antara pihak oposisi dan pemerintah yang sedang berkuasa, presiden Suriah Bashar al Assad (masyarakat Suriah sudah menyebut rezim). Terjadi perebutan wilayah dimana bagian timur Suriah dikuasai oleh oposisi, sedangkan bagian barat dikuasai oleh rezim pemerintah. Campur tangan pihak luar, dalam hal ini Rusia dan Iran bersama-sama membantu rezim pemerintahan Suriah dalam memerangi pihak oposisi yang sebenarnya menginginkan revolusi.

Pihak opisisi dalam kenyataannya adalah kelompok militan yang memiliki beberapa agenda dan kebetulan mempunyai satu sasaran yaitu menumbangkan pemerintahan Bashar al Assad.

Sejak Maret 2011, rezim pemerintah Suriah berusaha sekuat tenaga untuk menahan serangan oposisi sampai pada akhirnya kota Aleppo jatuh ke tangan oposisi. Pada Februari 2012, oposisi menyerang markas intelijen dan polisi Suriah  dan menewaskan 28 orang warganya. Situasi semakin parah ketika pihak opisis juga harus nerhadapan dengan pihak ISIS di wilayah pemberontakan. Tidak dapat dihindari, perang saudara akhirnya terjadi dan menyebabkan kematian warga sipil. Sejauh ini telah tewas 300.000 jiwa dikedua belah pihak termasuk masyarakat sipil dan lebih dari 12 juta warga mengungsi.

Islamic State (IS) merupakan bagian dari opisisi dan merupakan kelompok yang paling kuat dan ditakuti. IS adalah kelompok Sunni yang didukung oleh bekas pasukan militer elit Saddam Hussein dari Irak. Dilain pihak, Arab Saudi yang pada dasarnya ingin menyerang Bashar al Assad yang didukung juga oleh Iran, juga menyerang IS.

Negara Turki juga tidak mau ketinggalan meramaikan suasana. Karena ketakutan akan terbentuknya negara Kurdistan di Suriah dan juga seringa bersiteru dengan Assad, maka Turki melatih pasukan oposisi dengan dibantu biaya oleh AS.

Secara singkat Suriah akhirnya terbelah antara pihak pemerintah, oposisi, ISIS dan kaum Kurdi (yang dari dulu berusaha mendapatkan kemerdekaannya sendiri) exclude pendukung di pihak masing-masing.

Semoga penderitaan saudara saudari kita disana segera berakhir, dan kita sebagai manusia banyak belajar dari kejadian tersebut. Lakukan apa yang bisa dilakukan untuk kebaikan  bersama, semoga kiranya damai sejahtera tinggal dalam hati dan kehidupan kita.

Wednesday 7 December 2016

UNTUK KWI & PGI INDONESIA

Saya kecewa ketika wadah umat Kristen (termasuk Katolik) sebagai umat minoritas hanya diam ketika kebebasan beribadah sudah diperkosa oleh ormas-ormas yang intoleran.

Dimana KWI? dimana PGI?

Kejadian di Bandung baru-baru ini sudah merupakan pertanda bahwa kekuatan hukum negara sama sekali mandul versus ormas-ormas itu. Hukum dan negara sudah dikangkangi dan dikencingi.

Mari kita analisa bersama, silahkan ditonton videonya! para aparat bersikap banci dan seakan-akan mengawal ormas-ormas itu membuat ribut ditengah ibadah. Kegiatan ini bukan pertama kalinya dilaksanakan disana, sudah ada surat izinnya, dan tidak ada masalah selama bertahun-tahun. Apa bedanya ketika agama lain melasanakan ibadahnya di lapangan?

Please KWI dan PGI jangan menjawab dengan kata-kata "Agama kami adalah agama yang menjunjung cinta kasih, kami tidak akan membalas apa yang sudah dilakukan mereka". Hellow...... yang benar aja ya! sabar dan bodoh itu tipis bedanya!

Saya bukan menganjurkan utuk melakukan tindakan anarkis atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. Tapi kita adalah negara hukum! dan saya kira hukum kita tidak berseberangan dengan hukum agama manapun. Kita punya konstitusi negara yang melindungi penduduknya dalam melaksanakan ibadahnya. Menyakitkan sekali rasanya ketika semua ijin secara HUKUM DAN ADMINISTRASI DISETUJUI DAN KETIKA ORMAS-ORMAS ITU MASUK MENGACAUKAN IBADAH, PARA APARAT MALAH SEAKAN-AKAN MENGAWAL MEREKA!

Kini saatnya KWI dan PGI beraksi apa yang harus dilakukan untuk menjaga toleransi umat beragama dan tidak menjadi momok perang di dalam masyarakat. Mereka ini (KWI dan PGI) komunitas, ada dasarnya ketika melakukan perlawanan jika memang ada ketidakadilan. Sampai kapan kalian diam?
Mau menunggu perang saudara dulu?

Sudah terlalu lama wadah ini tidur dikamar, bersifat malu-malu kucing dan lama-lama saya muak melihatnya! Umat tidak sedang membutuhkan doa-doa panjang anda wahai pejabat-pejabat komunitas agama Kristen dan Katolik yang terhormat! Umat anda perlu dilindungi hak ibadahnya! Jangan kaburkan pepatah yang mengatakan kalau diam itu adalah emas, emas dari Hongkong!

Mulailah merkomunikasi dengan wadah agama lainnya, kunjungi mereka dan bicarakan bagaimana menjaga toleransi beragama di Indonesia tetap terjaga! Tolong fungsikanlah fungsi anda sekarang!

Monday 28 November 2016

Start Knowing

It was happened tonight, I just woke up in the middle of night for no reason. Wondering about time, I was looking my mobile phone under my pillow and there was notification from Facebook that Elizabeth Gilbert (one of my favourite writer) updated her status. Even I felt my eyes so sore and my brain loading like only about 30%, I started to read it and... well, I felt my tears falling down.


All of her words struck me into deep my heart. All of that words is masterpiece. Instead of questioning how she can explain it so loud, I know she is true. Maybe when you read that, you will think it's all overwhelming or she is too dramatize. But my dear, it's because you can't feel that, or maybe you already too far from your voice of heart. But one thing you should know, woman like me or others, we never lie to our heart. Sometimes maybe we ignore about it, but still it never stop. For last 2 years, I can tell you that I have been through a lot of hard times. It was very hard. It kept me drown too deep. I'm not kind of weepy, moan or mushy woman, but I cried for almost everyday for almost 2 years. I felt like the whole world against me. All my plans of life went to the wrong direction. I never feel that kind of sadness. Until I found out the caused,  it was because I no longer true to myself. I gave my life to society molding, which my heart actually rejected it. After a long self-meditation, I promise my self to get back for who I was before. I will never ever lie to my heart again even I have to conflict or contradict with my own family, society and world. People may call me odd, strange or overstate, but the worst part is maybe I will face it alone. Yes, alone! But, still, I decide and commit to highly respect my heart, my inner voice and myself. No more lie, I'm done with it. 


Below is Elizabeth Gilbert complete status that I wish open your eyes and mind too. I bold the words which effected me the most, for I know that I wasn't the only one who feel that intuition. So, enjoy yourself reading this article.




Dear Ones-
START KNOWING.
This is something I wrote in my journal a few months ago.
These words came to me through a powerful internal voice.
Allow me to explain.
I hear voices sometimes.
It's cool. Don't be alarmed. It's all good. I'm willing to bet you hear voices sometimes, too.
AT LEAST I HOPE YOU DO.
Every powerful woman I know is guided by voices.
Here's a story:
I have a brilliant friend who used to work in academia. She told me once that she'd been conducting a series of interviews of accomplished women, for a research project about women's success in the workplace. On the outside, all these women appeared to have nothing in common. They came from all different cultural and ethnic backgrounds, and all worked in different fields -- corporate and non-profit, secular and religious. But each woman carried herself with confidence and ease, and all of them had become quite powerful in their own corners of the world. When my friend asked these women how they had gotten so far, they all began by dutifully reported the same sorts of standard statements about the importance of hard work, and cultivating discipline, and fostering good professional contacts, and staying positive, and uplifting other women, and seeking out mentors, and blah, blah, blah..
Sounds perfectly logical, right?
But then there would come a moment in each interview where EVERY SINGLE ONE OF THESE WOMEN would seem to get bored with the questions, or maybe she was just feeling mischievous. Then each woman (EVERY SINGLE ONE OF THEM!) would ask my friend to turn off the recording device. Then the woman would lean in really close to my friend, and say in a conspiratorial whisper, "But do you want to hear what REALLY happened?" And then EVERY SINGLE ONE OF THOSE WOMEN would report how — at some point in her life — she had heard a voice. A mystical voice. An otherworldly voice. A powerful and certain voice. A commanding voice. A voice that could not be explained away rationally. And each of these women reported that this voice had told her exactly what she needed to do next. And she had done it.
"I know it sounds crazy..." they would say. But it was true.
They had heard a voice, and they had followed the voice.
It hadn't been easy for any of them, they reported. The voices often told them to do really, really hard things — things that often felt like total disruptions of their lives.
Maybe the voice had said, "It's time for you to move to Los Angeles now" — even though the woman had just signed a lease on an apartment in Houston.
Or maybe the voice had said, "It's time for you to go to medical school" — even though she'd just had a baby.
Or maybe the voice had said, "It's time for you to leave that boyfriend" — even though her parents really liked him.
Or maybe the voice had said, "This religious path is no longer authentic or meaningful for you" — even though she had been raised by fundamentalists.
Or maybe the voice had said, "It's time for you to learn Mandarin" — even though she'd never been to China.
But the voice had come. And whatever the voice said, the woman in question had taken the enormous risk of deciding to follow it. Even when it was inconvenient. Even when it was challenging. Even when it seemed prohibitively expensive. Even when it meant cutting her losses and walking away from any sense of security whatsoever. Even when it cost her the approval of friends and family. Even when everyone thought she was insane.
And THAT'S how she had gotten there, to her place of power in the world. It really had nothing to do with professional contacts, or mentors...it was just that she heard a voice, and she chose to listen.
EVERY SINGLE ONE OF THEM.
So.
I hear voices, too.
I heard voices when I was a teenager, saying, "You are meant to be a writer," and when people said, "But how will you make a living at THAT?", those voices were still like, "Yeah, whatever...you are meant to be a writer." And when I got rejection letters for years and years, and nobody was interested in my work, those voices were STILL like, "Yup...you are definitely meant to be a writer." And those voices STILL tell me I'm meant to be a writer. I'll stop writing when the voices stop telling me to write.
I heard voices telling me to move to New York City when I was young. I heard voices telling me that it was imperative that I see the world, and that I learn how to travel alone as a woman — no matter what the cost or risk. I heard voices telling me not to settle for the security of getting a "real job" — but instead to just work odd jobs, and to keep traveling, and to keep writing, and to keep gambling everything for creativity and an exploratory life of the mind. (You guys, I can't tell you how many times the voices tell me never to choose security over creativity. It's exhausting and sometimes scary. But they seem to REALLY MEAN IT.)
When I was in my 20's, I heard voices warning me not to get married, but I went ahead and got married anyway (side note: it's REALLY HARD for young women to push back against the forces of culture and tradition sometimes) and then I SERIOUSLY started hearing voices when I was 30 years old, and firmly married, and living in a shiny new house in the the suburbs, and my mind and body were absolutely falling to pieces, and I was supposed to be trying to have a baby that year, and the voices started screaming, "OH, NO YOU DON'T, MISSY!" And then I had to leave everything behind, in order to re-calibrate my path to my own truth. (This was awfully inconvenient and horrible and expensive and terrifying. And it's REALLY HARD to decide not to have a child in a culture that still tells women that having children, ultimately, is the only thing that shall fulfill them. But the voices were like "NOPE", so I had to leave it all behind. We call that "a course adjustment". It's never easy. But you don't get to chart your own life without making some pretty hardcore course corrections along the way.)
I still hear voices. I heard voices this spring telling me to leave everything behind yet again, and to gamble everything for love. (Very hard. Very scary. Very ACCURATE.)
Where do the voices come from? Beats me. You can call it "intuition". You can call it "the still small voice within". You can call it your "inner compass". You can call it "God". You can call it "Angels". You can call it your "spirit guides". You can call it your "gut instinct". You can call it your "dead ancestors speaking though you." You can call it "the flow"...but whatever it is, those voices exist. And you must train yourself to trust them, and to risk everything in order to follow them.
Notice that I didn't say, "You must train yourself to hear them."
I don't think you have to practice hearing them. I think they are always talking to you. I just think you have to train yourself to TRUST THEM. That's the hard part.
Learning to trust those voices is a practice that you can cultivate. Just like any other craft or skill, it is worth the effort to learn how to master it.
So...Today, I want to tell you what my voices have started telling me lately.
It's just these two words:
START KNOWING.
Here's the thing about my voices. They can be merciless. They are not always sweet and gentle. Sure, there are times when my voices say, "Poor baby! Poor little small one...we are so sorry that you are suffering, please take care of yourself, and lay down in a soft and safe place with a warm towel over your head"....but there are also times when my voices are like, "Oh for God's sake, FIND YOUR STRENGTH. Grow a fucking spine, woman, and take the action you need to take right now, and stop wasting time...we didn't send you here to let you pretend to be damn weak." (Interesting side note: The difference between THAT voice and my dark internal voice of self-hatred is that the dark internal voice of self-hatred says, "You're such a baby, you aren't worthy, you are a scum person, just curl up on the floor in a pile of dirty towels and die," but the mystical all-knowing voice says, "We love you too much to let you keep pretending that you are so powerless...COME ON! Let's DO THIS! GROW A FUCKING SPINE! WE HAVE THINGS TO DO! WE HAVE A DESTINY TO CREATE! STAND UP OFF THE FLOOR!!!! LET'S GOOOOOOO!!!!!" See the difference? Good.)
There have been times in my life (this year, among them) where my voices have needed to get really firm with me. They have challenged me, and they have pushed back against my arguments. They will hold my face in the truth and make me look at it, even when the truth hurts. They will not baby me. They refuse to enable me. This is good. They will not say, "It's OK, honey! Don't worry! It's all good! It doesn't matter — you're doing your best, and everyone's human!", but instead they say, "Actually, honey, it's NOT ALL GOOD. This situation is NOT OK, and the way you are behaving is NOT GOOD ENOUGH FOR YOU, and it's time for you to grow a spine, and challenge yourself more, get creative, and change everything. Let's GO!"
But mostly, this year, my voices have been saying to me just these two words: "START KNOWING."
Anytime I am faced with a dilemma, and I start to feel very small and confused, and I hear myself saying, "I don't know what to do!", some voice from deep within me rises in full power and says, "START KNOWING."
(I even wrote it down in my journal one day, for my entire entry that day. So that is what this picture is all about START KNOWING.)
What my voices are challenging me is to realize is that when I am feeling sad and scared and small, and I keep saying, "I don't know what to do!" — the truth is that usually I DO know. In fact, my voices are pretty certain that I always know. Somewhere, deep within me, I have always known what I need to do. I just don't want to do it sometimes, because it's too hard, or too scary, or seems to wild or too risky. Or I don't want to hurt anyone. Or I don't want to be judged. Or I don't want to lose what I have already attained. But still — I do know. Secretly, I do know. And my voices get impatient with me, because they're like, "Look, lady, we don't have forever, OK? You have all the information you need. Nothing will change now unless you change it. Make a move right here. Stop pretending you don't know what you need to do. START KNOWING."
I'm sensing this in so many women whom I encounter these days, too. They seem stuck and frustrated and confused and insecure and afraid. They have grown too comfortable/uncomfortable in the realm of "not knowing" what to do. They come up to me at my speaking events, and they introduce themselves by telling me about their injuries and their wounds. Before they have even told me what they want to create in this world, or who they long to become, they tell me the worst thing that has ever happened to them. Then I hear them start spinning and spinning and spinning the same story they've been telling for years about what happened to them, and how it damaged them, and what they want, but what they aren't getting, and why they can't change it, and why this situation is impossible, and what they wish would happen, and why can't it all be different, and why it's too late...and then they say, "I just don't know what to do!"
And I swear to God, this fearsome strong voice starts to rise out from the center of my spine, and all I want to do is take that woman by her shoulders, shake her, and shout at the top of my lungs: "START KNOWING!"
(But in a loving way. I love you all! Seriously, I love you guys! Smiley face! You go girl!)
But seriously...this voice that rises within me is not a voice of judgment or contempt. It's not a disgusted voice. This is just the voice of the Archangel of Womanhood — a divine force who cannot abide seeing any woman who has ANY power in her life pretending that she has no power in her life. Not you, not me, not your sisters, not your daughters, not your mothers. She just can't take it anymore. So voice of the Archangel of Womanhood says (out of a sense of fierce but merciless compassion, and a desire to liberate us all), "START KNOWING!"
Yes, it's hard. Of course it's hard. What did you think — it would be easy? Did you think they would just hand your destiny to you, cost-free? Yes, you might have to risk everything. Yes, you might have to cut your losses. Yes, some people will hate it. Yes, some people may never understand and never forgive you. Yes, you may walk away from the situation with a permanent scar, or a bad limp, or a battered heart. Yes, yes, yes, blah, blah, blah...
But come ON!
START KNOWING.
Stop saying, "I don't know what to do!" Because I believe that — somewhere deep in your center — there is some powerful truth about your life which YOU ALREADY DO KNOW.
If you're afraid of making a hasty decision, just remember that the alternative is to stay stuck in the same bullshit garbage death swamp you've been stuck in for years. (I say that lovingly! I love you! Smiley face!)
So start knowing. Start knowing what you already know. Start knowing what is so damn obvious about your life that a perfect stranger could see the problem, if you told her about your situation in a five minute conversation. Start knowing that you will no longer degrade yourself with the illusion that are powerless, that you're in a trap. (Here's the evidence of that: Tell me your story of how powerless you are, and I will find you a story of a woman who was in EXACTLY the same situation, and she changed it. I know...that sounds harsh. But it's true. Start knowing that it's true.)
Start knowing that you have far more agency than you think. Start knowing that the story you've been telling yourself about your limitations, or your helplessness in this situation, is NO LONGER GOOD ENOUGH FOR YOU. Start being honest with yourself about something that your body has been trying to tell you for years. (Listen to your body's pain — IT KNOWS. The body always knows. The body knows exactly the thing that is causing you suffering, and holding you back. I had a boyfriend once who I was madly in love with, but every time I got in his bed, my body would explode into pain, because my body already knew, "This man is no good for you." I didn't want to know it, because I was blinded by love — but my body knew. Start knowing what your body already knows.)
Start knowing the kind of woman you need to become — so that your daughters can have a better chance of becoming that kind of woman, too. Start knowing that the universe didn't send you here to this fearsome planet of change and danger so that you could practice being more afraid...but rather" The universe sent you here to this fearsome planet of change and danger so that you could practice being more BRAVE. (Stop waiting for the world to feel safe, before you live your life. The world never will never feel safe. This planet has a nickname in the universe, you know. It's called: THE ADVANCED SCHOOL FOR UTMOST HUMAN BRAVERY. They do not call our planet: THE COMFY RESTING PLACE FOR PRACTICING EASE AND SECURITY.)
Start knowing how brave you are. Start knowing how resilient you are. Start knowing how resourceful you are. Start knowing that you are the descendent of thousands of years of survivors, and that have you inherited all their wiles. Start knowing that the Archangel of Womanhood loves you too much to let you keep acting meek and degraded. Start knowing how willing you are to walk away from all of it, if you must. Start knowing that there are no victims in this room. (I can't tell you how many times my voices say to me, "THERE ARE NO VICTIMS IN THIS ROOM." I hate it sometimes when they say that to me. But the Archangel of Womanhood is quite firm on the matter. There are no victims in this room, she says. Period.)
START KNOWING, you guys.
Try saying those two words to yourself in a very calm, very wise, very ancient, very adamant voice — the next time you panic. Just say it (START KNOWING) and then breathe. Then get quiet and see what comes up.
I promise you that your very next thought will be the truth.
It might not be easy, but it will be true.
And you are ready for it.
Seriously, you are.
Start right there. That's what every powerful woman I know has done.
Because the voices within you already know everything. But they can't work with you until you are willing to START KNOWING, too.
OK?
I love you. Smiley face. Let's do this.
ONWARD,
ELIZABETH GILBERT

Friday 25 November 2016

Person of October; My Remarkable Girlfriends (Special to Jo)

Thursday, 20 October 2016

Person of October; My Remarkable Girlfriends (Special to Jo)

Sesuai dengan topik sebelumnya... di Bulan yang istimewa ini saya ingin membahas tokoh, yaitu salah seorang sahabat perempuan saya. Alasannya apa? Well, saya hanya berpikir kalau tokoh pertama yang akan saya review haruslah saya kenal secara personal dan diluar pertalian keluarga. Tokoh ini haruslah menginspirasi saya dan dekat secara emosional juga. Dengan alasan ini, orang pertama yang saya ingat adalah sahabat terlama saya (sudah 16 tahun) yang bernama Johanna Elisabeth Sinaga.

Sebenarnya, saya memiliki lebih banyak teman pria dari pada teman wanita. Tapi, entah kenapa dari dulu saya sangat selektif ketika memilih teman perempuan. Khusus teman pria, saya tidak akan pernah menceritakan masalah personal saya, kecuali saya memiliki 'feeling' terhadap dia. Teman pria bagi saya adalah teman yang asyik disaat have fun saja, kalau dijadikan tempat curhat khawatirnya akan terjadi kesalahpahaman.
Bisa dikatakan saya adalah tipe yang mengkotak-kotakkan hubungan pertemanan. Misalnya:

Si A: Kategori teman yang cukup hanya sekedar say hai saja bila bertemu
Si B: Teman untuk have fun
Si C: Teman saat lagi punya duit banyak
Si D: I can trust everything and count on them

Untuk teman wanita, well, sebenarnya saya punya banyak, namun hanya sedikit yang sangat dekat dan saya percayai. Kepada mereka saya sudah tidak memiliki rahasia apapun. I told them every single thing about me and my truly condition. Hanya kepada mereka saya tidak bertopeng, hanya didepan mereka saya tidak malu untuk menangis, dan hanya mereka yang saya ijinkan untuk memarahi saya, 'memerintah' saya, atau menasehati saya (terkadang, bahkan perkataan mereka lebih saya dengarkan daripada nasehat orangtua saya). Sebegitu berpengaruhnyakah mereka? ya... mereka adalah orang yang sangat berpengaruh dalam hidup saya. Perlu saya garis bawahi, bahwa saya dan teman-teman wanita saya memikili beberapa karakter yang hampir sama:

1. Tegas cenderung keras kepala
2. Cerewet, tanpa basa-basi alias straight to the point
3. Simple dan tomboy
4. No gossip about envy related to other woman
5. Very strong willing
6. Pekerja keras
7. Superior
8. Sarcastic tapi humoris
9. Tidak bisa dandan
10 Konyol dan jahil
11. No hard feeling alias no-drama and sentimentil. Saya terkadang bertengkar hebat dengan mereka, tidak bicara selama berbulan-bulan untuk kemudian bertemu lagi dan melakukan hal gila. Tak ada satupun dari kami mempermasalahkan siapa yang salah... kalau ingin bertemu ya tinggal call saja, selanjutnya kami bahkan lupa kalau sedang bertengkar.
12. Kami sangat, sangat dan sangat sadar bahwa kami tidak cantik secara fisik. Anehnya kami tidak pernah membahas bagaimana caranya supaya menjadi cantik dengan produk-produk kecantikan. Kami akan lebih banyak mengobrol tentang cita-cita, mimpi, cowok, traveling, investasi atau keluarga.
13. We are daughter of our father. We love our father too much! Kami adalah tuan putri untuk bapak kami hehehehehe...
14. Kind of one hearted woman. Do not expect us as a player.

I love and adore my girlfriends soooooo much....!!!!!! I laugh as much as cry with them.

Seperti yang sudah saya ceritakan diawal, sahabat saya yang pertama dan yang paling lama adalah Johanna. Sebelum saya menulis tentang dia, saya sempat meminta ijinnya lewat WA untuk menulis kisah persahabatan kami di blog ini, dan dibalas dengan simple: Boleh aja Ras, I trust you!

Saya mengenal sahabat saya ini ketika memasuki masa SMA/SMU. Kami sekelas, dan dia duduk diseberang bangku saya. Saya lupa bagaimana awalnya kedekatan kami, tapi yang pasti saya langsung suka karna dia cerewet dan tidak jaim atau munafik. Johanna sebenarnya sangat jahil, namun tertutupi dengan tampangnya yang lugu dan pendiam. Siapapun yang melihat dia pasti tidak percaya kalau orangnya konyol level 1. Johanna sangat pintar, punya visi dalam hidup untuk jangka panjang. Johanna merupakan suporter terbaik saya sampai sekarang. Permasalahan apapun yang saya hadapi, sahabat saya yang luar biasa ini mampu memberikan sebaris nasehat yang membuat saya terdiam dan mengakui kalau dia memang benar.

Untuk masalah pribadi alias percintaan, kebetulan kami memiliki persamaan. Yess...kami mudah tertarik dengan pria namun sulit untuk jatuh cinta. Sekali kami jatuh cinta, selalu tahan lama dan menjadi bego bertahun-tahun. Namun jangan salah, disaat kami sedang bego-begonya diakibatkan buta karna penyakit cinta, kami selalu berusaha untuk tetap berpikir rasional. Tapi untuk masalah yang satu ini Johanna lebih cepat move on dibandingkan dengan saya (Huh... beruntung sekali dia!). Pernah suatu kali, mungkin karna dia geram melihat saya yang masih bertahan mencintai 'mantan' gebetan selama bertahun-tahun, dia marah dan menasehati saya dengan kejam.
"Makanya Ras, lain kali kalau cinta itu pakai otak! ga usah terlalu banyak pakai hati!" Sadeeeesss....Wkwkwkwk...

Dulu Johanna pernah pacaran dengan kakak kelas saya di perkuliahan, dan dia dengan cerewet akan bertanya berapa IPK pacarnya itu (Johanna mensyaratkan minimal IPK 3.00). Apakah dia merokok atau tidak. Terjadi beberapa kali proses pengampunan, namun karna pacarnya tidak berubah juga, dengan gampangnya Johanna memutuskan hubungan mereka. Awalnya saya pikir dia egois sekali, terlalu banyak mengatur pacarnya. Ya udah, kenapa memangnya kalau merokok dan IPK dibawah 3.00? namanya juga masih muda, tapi dia tetap tidak bisa terima.
Namun bertahun-tahun kemudian saya baru menyadari kalau apa yang dilakukan Johanna memang benar dan sayapun akhirnya berpikir begini (yang pasti sama dengan Johanna):

Kalau memang pria ini bersedia manjalin hubungan yang istimewa dengan saya, maka saya harus bisa membuat dia lebih baik dan lebih bahagia. Dia harus lebih pintar, lebih maju, lebih dewasa (mental dan spiritual) dan lebih sehat dibandingkan sebelum bertemu dengan saya. Kalau ternyata kehadiran saya tidak membuat dia tambah maju, lha untuk apa ada saya dalam hidupnya? Lebih baik tidak ada hubungan sama sekali. Kalau dia tidak mau kompromi mengenai hal itu, silahkan cari wanita lain yang bisa dia digandeng tangannya menuju ke "kemunduran", karna saya tidak mau hidup berjalan mundur. Begitu juga sebaliknya, sayapun harus merasa lebih baik ketika saya memiliki 'teman istimewa'. 

Berbekal prinsip ini, dulu saya pernah memutuskan untuk meninggalkan teman dekat pria saya hanya karna dia tidak setuju kalau saya melanjutkan studi lagi dengan alasan tidak bisa menerima kalau kami terpisah oleh jarak. Kami kemudian bertengkar, dan saya katakan kalau saya lebih memilih menangisi dia bertahun-tahun daripada tidak lanjut sekolah lagi. Apakah saya menangis? YA. Bertahun-tahun? YA. Apakah saya menyesal? TIDAK. There are no excuses when you decided to pursue your education. Apalagi hanya karna seorang pria yang tidak cukup dewasa secara mental. Saya hanya perlu belajar dan membiasakan diri hidup tanpa dia. Saya bisa dan berani memutuskan demikian, disebabkan pengalaman sahabat saya itu.

Sewaktu saya melanjutkan studi di Yogyakarta, Johanna menelepon dengan membawa berita gembira kalau dia sedang jatuh cinta! Wow... Saya turut berbahagia saat itu. Pria ini pasti sangat istimewa karna dia mampu mencuri hati seorang Johanna. Sampai saya mendengar tentang pria ini secara detail, akhirnya saya menolak untuk menyetujui hubungan mereka. Ada perbedaan yang sangat krusial dan saya memaksa Johanna agar tidak melanjutkan hubungan asmaranya itu. But she couldn't help it. She was so in love with him. Saya tau itu agak sulit, namun saya pikir kalau Johanna juga sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya. Sebagai sahabat, saya hanya mengingatkan, kalaupun dia memutuskan untuk tetap menjalin hubungan dengan si pria, ini sama saja dengan memelihara bom waktu. Tinggal menunggu kapan meledaknya saja...

Lima tahun... yap... lima tahun kemudian, bom itu akhirnya meledak. Saya tidak kuat melihat sahabat saya ini patah hati dan berurai airmata. It really broke my heart. Endingnya terlalu menyakitkan, saya tahu kalau dia tidak layak diperlakukan seperti itu. Sahabat saya ini berhak untuk mendapatkan yang terbaik! Tapi cara kerja Tuhan memang istimewa. Disaat bencana patah hati itu terjadi, Johanna mendapatkan beasiswa ke Australia, tepatnya di Melbourne University (Johanna memang gadis yang pintar). Studi keluar negri  merupakan cita-cita yang sudah lama diimpikannya. Saya ingat dulu bagaimana Johanna mensupport saya ketika akan melanjutkan sekolah lagi. Waktu itu saya belum punya sertifikat TOEFL dan kemampuan ilmu pksikotes saya masih perlu diasah lagi. Setiap sabtu kami sama-sama les bahasa asing di Univeristas Indonesia Salemba dan hari Minggunya kami melanjutkan kursus singkat mengenai test potensi akademik di Lebak Bulus Jakarta Selatan. Waktu itu Johanna sedang mengincar beasiswa ke Jerman, sehingga kami sama-sama kursus. Senin sampai Jumat kami bekerja, Sabtu-Minggu dilanjutkan dengan kursus. Tidak ada waktu untuk berleha-leha. Well, paling tidak Johanna bisa melampiaskan rasa patah hatinyanya melalui kuliah. Solusi yang sangat keren dari Sang Pencipta dan saya bahagia sekali karna dia bisa menggapai mimpinya.

Johanna itu perempuan paling kuat yang pernah saya kenal. Pertama kali dia merantau ke Jakarta, dia menelepon saya yang waktu itu masih kuliah di Pekanbaru. Saya sampai menahan tangis ketika dia menceritakan perjuangannya mencari kerja di Jakarta. Dia kost di tempat yang kurang layak supaya bisa mengirit biaya. Setiap hari dia membeli gorengan Rp. 3000,- untuk lauknya makan satu harian. Dia buta dengan lokasi Jakarta, tapi dia pantang menyerah. Setiap hari dia bisa mengirimkan sampai 50 surat lamaran kerja. Kabar sukacita itu akhirnya datang ketika Johanna diterima bekerja di sebuah perusahaan yang bosnya orang bule dengan gaji yang lumayan besar.... yey..!!! Pengalaman sahabat saya ini yang pada akhirnya mendorong saya untuk merantau juga ke Jakarta dan kami sama-sama bercita-cita untuk melanjutkan kuliah lagi.

Well, kami hanya gadis kampung yang selama ini tidak dianggap bahkan mungkin tidak dilirik. Rasa minder kami luar biasa. Saya pernah membaca status Johanna di media sosial yang mengatakan kalau kekuatan terbesarnya adalah "mau belajar dan bekerja keras", dia tidak bisa mengandalkan harta ataupun fisik karna memang dia tidak memiliki itu semua, karnanya dia bersedia belajar dan bekerja lebih keras dari kebanyakan orang untuk mencapai apa yang diimpikannya. Keren kan?
Dulu karna terlalu minder dan saat naksir kakak kelas yang keren-keren sewaktu SMA, kami menjadi penelepon gelap demi bisa melampiaskan rasa iseng dan rasa suka kami.... hahahahaha.... soooo ridiculous!!!! Saya memutuskan untuk tidak menceritakan detailnya karna terlalu banyak hal jahil yang kami lakukan dan saya bingung memulainya darimana.
Kami melakukan itu karna mungkin kami sangat memahami status kami yang "pungguk merindukan bulan". Kasian ya...??? Hahahahaha...

Ada satu hal yang paling saya kagumi dari Johanna. She loves her family so deeply! Dia membiayai kuliah adiknya, membantu keuangan orangtuanya dan lainnya. Johanna sangat royal kepada keluarganya. Dia pernah bercerita, kalau bertahun-tahun bekerja dia tidak punya harta karna lebih mementingkan keperluan keluarganya. Pernah ada kejadian, adiknya sedang sakit keras. Johanna mati-matian berusaha untuk mengurus adiknya. Mulai dari menemani berobat di Jakarta sampai biaya pengobatan ke Penang Malaysia. Tidak ada yang tidak dilakukan Johanna demi keluarganya. Terutama, dia terus berusaha untuk membahagian kedua orangtuanya. Dia secara rutin akan mengirim materi kepada mereka. Pernah sekali waktu dia tugas kerja ke Yogyakarta dan kami bertemu, disana dia menceritakan tentang permasalahan keluarganya dan saya lihat kalau dia semakin kurus dan matanya sangat sayu. Waktu itu saya sedikit marah, saya katakan kalau saya tidak keberatan jika dia lebih mengutamakan keluarganya, tapi dia juga perlu sedikit egois untuk mengurus dan membahagiakan dirinya sendiri. Tapi dia menjawab seperti ini:

"Ras, aku nggak mau nanti ketika orangtuaku meninggal aku menangis karna menyesal belum sempat membahagiakan mereka. Aku mau menangis karna memang aku sudah puas membuat mereka bahagia. Mereka sudah banyak berkorban untuk aku dari kecil sampai besar. Aku berkomitmen untuk tetap mengirimi mereka 'uang' bahkan nanti kalau aku sudah menikah. Komitmen ini juga nanti harus disetujui oleh pasanganku"

Yaaaak... saudara-saudara... saya hanya mampu diam dan merasa bodoh sekaligus egois mendengar kata-katanya. Berbahagialah orangtuanya memiliki anak seperti Johanna.

Menulis tentang Johanna, membuat saya berdoa dalam hati betapa saya sangat bahagia dan bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Sahabat perempuan saya yang paling lama. Sahabat yang menjadi saksi di setiap permasalahan yang saya hadapi.
Dan yang membuat saya semakin bahagia adalah dengan mengetahui kalau saya memiliki Johanna-Johanna lain. Beberapa sahabat perempuan sewaktu saya tinggal di Pekanbaru, dimasa-masa saya bekerja di Jakarta dan sewaktu saya tinggal di Yogyakarta.

Sekarang Johanna menetap di Australia sampai paling tidak 2 tahun kedepan. Thanks to WA kami bisa teleponan gratis :D :D :D Kami masih bisa saling support dan bertukar kabar, terkadang kami bahkan masih bercerita tentang hal-hal konyol atau mengungkit semua kegilaan kami di masa lalu. Sampai sekarang saya masih suka tertawa sendiri kalau mengingat memori-memori itu. Saya hanya bisa mendoakan semoga studinya lancar, dan dia tetap sehat disana sampai dia kembali ke Indonesia.

Kalau ada yang mengatakan kita harus pemilih dalam berteman, saya setuju dengan hal itu. Kita boleh ramah kepada siapa saja, namun pertemanan dan persahabatan merupakan hal lain. Mereka... all of my girlfriends are my precious treasure. I love and proud to know them because they're really something!

Why I need best girlfriends?
Because we laugh at the same stupid things we do.
Because they give me honest advice.
Because they will be there for me, even if
they're thousands of miles away.
Because they celebrate with me, when I'm at my best
but still love me at my worst.

Note:
Incase you read this Jo, I just want to let you know that I'm really proud of you and always will be. For every struggling you've been faced, you're beyond an incredible woman. You've been hurt by someone who didn't deserve you but heeeiii... just read my words below:

It's just a test Jo... like all the previous tests, I believe you can win this.
I know you're striving for excellence spiritually so don't let yourself fall for someone unequally yoked believers again, cause at the end, it will become a disaster. I don't talk about religion but more than that ya Jo. Just seek the character and maturity from someone, cause in the long term love isn't enough.
You deserve for a man who can respect you in order to be submissive.
The one who can be the leader, priest and provider to the lives entrusted to him by God, will come to your path. Your truly happiness on the way Jo, so be patient yaaa...
Johanna, you are worth a lot! remember that! Never ever let that 'hurt feeling' make you down.
Stay tough there, GBU abundantly. Hug youuuuuuu.........!!!

Thursday 24 November 2016

Date a Boy Who Travels

Saya punya kebiasaan setiap membaca artikel yang bagus akan langsung saya copy, paste ke Mic. words tanpa mencantumkan linknya dan simpan di desktop laptop saya. Sampai tadi malam, demi melihat desktop laptop saya penuh akan data, saya kemudian bersih-bersih dan check apa saja yang saya simpan.

Ada satu artikel menarik yang kalau dilihat dari keterangannya saya simpan pada tahun 2013 (wew... lama amat ya), dengan judul "Date a Boy Who Travels". Artikel ini sangat menarik dan menginspirasi terumata kepada wanita-wanita diluar sana untuk mendapatkan rekan pria istimewanya. Berikut full textnya:




Date a boy who travels. Date a boy who treasures experience over toys, a hand-woven bracelet over a Rolex. Date the boy who scoffs when he hears the words, “vacation,” “all-inclusive” or “resort.” Date a boy who travels because he’s not blinded by a single goal but enlivened by many.
You might find him in an airport or at a book store browsing the travel guides — although he “only uses them for reference.”
You’ll know it’s him because when you peek at his computer screen his background will be a scenic splendor of rolling hills, mountains or prayer flags. His Facebook friend count will be over-the-roof and his wall will be plastered with the broken English ‘miss-you’ of friends he met along the way. When he travels he makes lifelong friends in an hour. And although contact with these friends is sporadic and may be far-between his bonds are unmessable and if he wanted he could couch surf the world... again.
Buy him a beer. Maybe the same brand that he wears on the singlet under his plaid shirt, unable to truly let go. Once a traveller gets home people rarely listen to his stories. So listen to him. Allow him to paint a picture that brings you into his world. He might talk fast and miss small details because he’s so excited to be heard. Bask in his enthusiasm. Want it for yourself.
He’ll squeak like an excited toddler when his latest issue of National Geographicarrives in the mail. Then he’ll grow quiet, engrossed, until he finishes his analysis of every photo, every adventure. In his mind he’ll insert himself in these pictures. He’ll pass the issue on to you and grill you about your dreams and competitively ask about the craziest thing you’ve ever done. Tell him. And know that he’ll probably win. And if by chance you win, know that his next lot in life will be to out do you. But then he’ll say, “Maybe we can do it together.”
Date the boy who talks of distant places and whose hands have explored the stone relics of ancient civilizations and whose mind has imagined those hands carving, chiseling, painting the wonders of the world. And when he talks it’s as if he’s reliving it with you. You can almost hear his heart racing. You can almost feel the adrenaline ramped up by the moment. You feel it passing through his synapsis, a feast to his eyes entering through those tiny oracles of experience that we call pupils, digesting rapidly through his veins, manifesting into his nervous system, transforming and altering his worldview like a reverse trauma and finally passing but forever changing the colors of his sight. (Unless he’s Karl Pilkington.) You will want this too.
Date a boy who’s lived out of a backpack because he lives happily with less. A boy who’s travelled has seen poverty and dined with those who live in small shanties with no running water, and yet welcome strangers with greater hospitality than the rich. And because he’s seen this he’s seen how a life without luxury can mean a life fueled by relationships and family rather than a life that fuels fancy cars and ego. He’s experienced different ways of being, respects alternative religions and he looks at the world with the eyes of a five-year-old, curious and hungry. Your dad will be happy too because he’s good with money and knows how to budget.
This boy relishes home; the comfort of a duvet, the safety stirred in a mom-cooked meal, the easy conversation of childhood friends and the immaculate glory of the flush-toilet. Although fiercely independent, he has had time to reflect on himself and his relationships. Despite his wanderlust he knows and appreciates his ties to home. He has had a chance to miss and be missed. Because of this he also knows a thing or two about goodbyes. He knows the overwhelming uncertainty of leaving the comforts of home, the indefinite see-you-laters at the departure gates and yet he fearlessly goes into the unknown because he knows the feeling of return. And that the I’ve-missed-you-hug is the best type of hug in the whole world. He also knows that goodbyes are just prolonged see-you-laters and that ‘hello’ is only as far away as the nearest internet cafe.
Don’t hold onto this boy. Let this boy go and go with him. If you haven’t travelled, he will open your eyes to a world beyond the news and popular perception. He will open your dreams to possibility and reality. He will calm your nerves when you’re about to miss a flight or when your rental blows a flat because he knows the journey is the adventure. He will make light of the unsavory noises you make when you — and you will — get food poisoning. He will make you laugh through the discomfort all while dabbing your forehead with a cold cloth and nursing you with bottled water. He will make you feel like you’re home.
When you see something beautiful he will hold your hand in silence, in awe the history of where his feet stand and the fact that you’re with him.
He will live in every moment with you because this is how he lives his life. He understands that happiness is no more than a string of moments that displace neutrality and he is determined to tie as many of these strings together as he can. He also understands your need to live for yourself and that you have a bucket list of your own. Understand his. Understand that your goals may at some points differ but that independence is the cornerstone of a healthy relationship when it’s mutually respected. You may lose him for a bit but he will always come home bearing a new story and a souvenir he picked up because it reminded him of you, like it was made for you and because he missed you. You might be compelled to do the same. Make sure that independence is on your bucket list and make sure it’s checked. Independence will keep your relationship fresh and exciting and when you’re together again it will forge a bond of unbreakable trust.
He’ll propose when you’ve breached your comfort-zone, whether it is a fear like skydiving or swimming with sharks or sitting next to the smelly person on an overcrowded bus. It won’t be with a diamond ring but with a token from a native culture or inspired by nature, like the penguin and the pebble.
You will get married somewhere unassumed, surrounded by a select few in a moment constructed to celebrate venturing into the unknown together again. Marry the boy who’s travelled and together you will make the whole world your home. Your honeymoon will not be forgotten to a buffet dinner and all-you-can-drink beach bars, but will be remembered in the triumphant photographs at the top of Kilimanjaro and memorialized in the rewarding ache of muscles at the end of a long days hike.
When you’re ready you will have children that have the names of the characters you met on your journeys, the foreign names of people who dug a special place in your heart if only for a few days. Perhaps you will live in another country and your children will learn of language and customs that open their minds from the very start, leaving no room for prejudice. He will introduce them to the life of Hemingway, the journey of Santiago, and empower them to live even bigger than both of you.
Marry a boy who travels and he’ll teach your children the beauty of a single stone, the history of the Incas and he will instill in them the bravery of possibility. He will explain to them that masking opportunity there is fear. He will teach them to concur it.
And when you’re old you’ll sit with your grandchildren poring over your photo albums and chest of worldly treasures while they too insert themselves into your photographs, sparked by the beauty of the world and inspired by your life in it.
Find a boy who travels because you deserve a life of adventure and possibility. You deserve to live light and embrace simplicity. You deserve to look at life through the eyes of youth and with your arms wide open. Because this is where you will find joy. And better, you will find joy together. And if you can’t find him, travel. Go. Embrace it. Explore the world for yourself because dreams are the stuff reality is made from.
Inspired by the work of Charles Warnke (You Should Date An Illiterate Girl) and Rosemarie Urquico (Date A Girl Who Reads).
Originally published on Where Are My Heels.


Copy from link: http://www.huffingtonpost.com/lena-desmond/date-a-boy-who-travels_b_3293815.html