Friday 10 February 2017

Movie: Silence (2016)

Sebelum membahas film ini, ijinkan saya menceritakan sedikit pandangan saya mengenai 'Imam Katolik'. Seperti yang pernah saya bahas dalam artikel saya sebelumnya, saya berasal dari keluarga Katolik yang lumayan taat. Saya mengenyam pendidikan dari TK-SLTP di perguruan Katolik. Saat melanjutkan ke jenjang SMU, saya memutuskan masuk ke sekolah negri saja supaya saya masih punya waktu untuk mengambil kursus bahasa dan bimbingan belajar. Kalau saya lanjutkan di sekolah Katolik, saya pasti sudah keteteran duluan dengan jam sekolah yang lebih panjang plus tugas rumah yang seabrek-abrek.

Sejak kecil, imam dan suster Katolik sudah mendapat perhatian khusus dari saya. Pada waktu itu seorang pastor bule yang bertugas di paroki lingkungan keluarga saya memberi nama baptis 'Maria' kepada saya, dengan harapan saya bisa meneladani sifat Bunda Tuhan Yesus tersebut (beratnya hidupku... :D), dan hanya saya sendiri yang diberi nama baptis, sementara ke tiga saudara saya yang lain tidak memiliki nama baptis.

Imam atau pastor di lingkungan saya dulunya selalu mengenakan jubah coklat tua dengan belt (seperti tali sumbu) berwarna putih, dan mereka ganteng-ganteng. Saya kemudian mengetahui ordo-ordo dalam Katolik dan imam ordo Jesuit adalah idola saya. Salah satu tokoh ordo ini yang sangat terkenal adalah Fransiskus Xaverius. Ordo ini bersumpah untuk hidup sepenuhnya dalam Tuhan yaitu dengan cara selibat, miskin harta dan menderita. Belum lagi ketika saya melihat para suster yang mengenakan kerudung dan pakaian putih dan kalung salib. Sejujurnya, dulu saya pernah memiliki cita-cita menjadi seorang biarawati Katolik, namun akhirnya pupus setelah saya mengenal cinta pertama dengan lawan jenis. Cinta pertama ternyata lebih menggoda daripada hidup sendiri sebagai seorang suster pada waktu itu.

Ketika saya melihat para imam Katolik itu, ada sesuatu perasaan yang membuncah dalam hati, rasanya sudah seperti bertemu Tuhan saja. Memasuki masa peralihan dalam hidup spiritual saya, saya sempat mempertanyakan iman Katolik dan bahkan hampir meninggalkan kepercayaan dari orang tua saya itu. Masa galau spiritual yang saya lalui ternyata membuat saya semakin mencintai iman dan Tuhan saya. Saya menjadi semakin kritis terhadap struktur organisasi-nya, gaya hidup orang Katolik sekarang, situasi gereja Katolik di dunia dan terutama pola hidup para imam dan biarawati Katolik.
Beberapa teman saya mengatakan saya seperti sedikit apatis dan malah terlalu kritis dengan Katolik, tapi saya punya alasan sendiri untuk hal yang satu itu.

Saya tidak menghakimi, namun jalan hidup kebanyakan dari mereka sudah tidak seperti pola hidup para rasul mula-mula, yang mana sebagai umatnya saya sangat merasa kecewa.

Kembali ke film SILENCE.

Film bergenre drama sejarah ini disutradarai oleh Martin Scorsese berdasarkan novel tahun 1966 yang berjudul sama karya penulis Jepang Shusaku Endo.
Film ini dibintai oleh Andrew Garfield (saya sangat memuji aktingnya dalam film ini), Adam Driver, Liam Neeson, Tadanobu Asano dan Ciaran Hinds

Film ini berlatar belakang di negara Jepang pada abad ke-17 tentang 2 imam Jesuit muda Katolik Fathers Rodrigues dan Fathers Garupe yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Katolik sekaligus memastikan kabar murtadnya guru mereka Fathers Ferreira menjadi seorang Budhist dan menikah dengan wanita Jepang setelah tidak kuat disiksa oleh tentara pemerintah Jepang yang menentang penyebaran agama Katolik.

Setibanya di Jepang, Rodrigues dan Garupe disembunyikan oleh penduduk desa setempat dan mereka berdoa, mengadakan misa, melakukan pembaptisan bayi secara sembunyi-sembunyi. Karena semakin ketatnya penjagaan dari prajurit pemerintah untuk menangkap para pemeluk Katolik, Rodrigues dan Garupe akhirnya di pisahkan ke wilayah yang berbeda, Garupe berlayar ke pulau Hirado sementara Rodrigues ke wilayah Nagasaki. Karena pengkhianatan, Rodrigues akhirnya tertangkap dan dipenjara. Berkali-kali prajurit Jepang mencoba menantang Rodrigues untuk menyangkal imannya, berkali-kali pula ditolaknya. Rodrigues bahkan menawarkan nyawanya. Namun kali ini pemerintah Jepang sudah belajar dari kejadian sebelumnya. Mereka sama sekali tidak menyiksa Rodrigues, namun mereka membuat semua pengikut Katolik disiksa di depan mata Rodrigues. Ada yang kepalanya dipenggal, digantung terbalik dengan leher disayat sebelumnya agar mati dengan tersiksa dan pelan-pelan. Belum lagi ada sekeluarga yang ditenggelamkan hidup-hidup (termasuk Garupe).

Rodrigues semakin frustasi dan menangis setiap hari. Dia berdoa dan berteriak memanggil Tuhan dan ternyata Tuhan hanya diam. Rodrigues mencoba bertahan tetapi prajurit Jepang pun tidak menyerah. Mereka akhirnya mempertemukan Rodrigues dengan Ferreira yang sudah menjadi pendeta temple. Hati Rodrigues semakin hancur melihat gurunya Ferreira tidak mampu menolongnya dan bahkan membujuknya untuk murtad juga. Ferreira berkata " Negara ini ibarat rawa-rawa. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya sendiri, Dan rawa-rawa ini keadaannya lebih parah dari pada yang bisa kau bayangkan. Setiap kali kau menanam tunas muda di rawa-rawa ini, akar-akarnya mulai membusuk, daun-daunnya menguning dan layu. Dan kita telah menanam tunas muda Kristianitas di rawa-rawa ini"

Rodrigues pada akhirnya mempunyai dua pilihan. Bertahan dengan imannya sementara semua umat disiksa sampai mati didepannya sebelum dia digantung mati juga, atau murtad dan semua umat akan dibebaskan.

Rodrigues hanya bisa tertawa dengan air mata yang membanjiri wajahnya sambil mendengar suara-suara teriakan umat yang disiksa. Dengan tubuh yang lemah dan bergetar hebat, Rodrigues pun menyangkal imannya dengan cara menginjak gambar wajah Sang Guru Yesus Kristus. Rodrigues akhirnya menjalani hidup yang sama seperti Ferreira, dan menikah dengan wanita Jepang. Di scene terakhir ditampilkan Rodrigues kemudian meninggal, dan saat disemayamkan terlihat dia sedang menggenggam salib ditangannya.

Film ini banyak menuai kontroversi terutama dikalangan umat Katolik. Banyak pendapat internal yang menyarankan umat untuk mempertimbangan Alkitab sebagai acuan akan defenisi mati sebagai martir. Film ini juga berhasil masuk dalam kategori Oscar 2017 dalam kategori Best Cinematography.

Note:
Selama tahun-tahun masa kecil, setiap libur sekolah saya akan diantar oleh Bapak saya untuk membantu Opung saya yang sudah menjadi janda ke ladang bawang di desa kecil bernama Sihosapi Samosir (setelah menyebrang danau Toba, masih dilanjutkan dengan perjalanan darat yang terjal dan berbukit selama kurang lebih 2 jam). Di kampung Opung saya ini belum ada listrik dan air susah sekali. Setiap mau mandi kami harus berjalan jauh untuk mencari genangan air. Belum lagi ketika ingin membuang hajat, kami akan menggunakan lembaran daun sebagai alat untuk membersihkan.

Kampung Opung saya ini sangat sunyi dan sepi, saya bahkan bisa mendengar semilir aliran udara ditelinga saya. Karena lokasinya yang jauh dan terjal, Pastor hanya bisa datang sesekali untuk mengadakan misa di dusun tempat opung saya tinggal. Paling banyak misa dilakukan hanya 2 kali dalam setahun. Saya ingat waktu itu ketika saya berada di kaki bukit sedang menjaga kerbau peliharaan Opung saya, tiba-tiba ada teriakan anak-anak kampung setempat yang mengatakan bahwa pastor telah tiba. Mereka berteriak kegirangan seperti menyambut tamu agaung. Saya kemudian berlari menanjak ke atas bukit untuk melihat pastor tersebut. Mendekati puncak bukit saya melihat seorang Pastor Bule berwajah ceria sedang bercengkrama dengan penduduk setempat dengan peluh membasahi tubuhnya (daerah Sihosapi sangat kering dan panas). Saya terkejut karna Pastor bule itu ternyata sangat fasih berbahasa batak. Ketika saya mendekat, saya melihat beliau mengeluarkan sapu tangannya dan melap ingus seorang anak kecil yang berdiri di dekatnya.

Setelah mengadakan misa, pastor kemudian dijamu dengan sangat istimewa oleh penduduk desa. Mereka makan besar dengan menyembelih ternak masing-masing, termasuk opung saya. Setelah dijamu, pastor yang datang dengan menggunakan motor kemudian diberi buah tangan lagi. Seberapa keraspun sang Pastor menolak tidak akan dihiraukan oleh penduduk. Mereka lalu mengikat sekor babi dan beberapa ekor ayam dibelakang motor si Pastor. Beberapa perempuan tua desa juga memberikan sarung dan ulos hasil tenunan mereka sendiri. Saat pastor menaiki motornya dan siap-siap pergi, penduduk akan menghujani Pastor dengan beras dan berseru "Horas..!!! Horas...Horas..!!!"

Memori ini tiba-tiba datang ke alam pikiran saya ketika menonton adegan Fathers Rodrigues menyangkal imannya, dan sungguh... saya tidak bisa menahan air mata saya.


No comments:

Post a Comment